Ampak-ampak Singgelapura

… maka boleh dibilang lakon kethoprak itu memuat sayembara yang disayembarakan…

Ampak-ampak Singgelapura merupakan sebuah lakon kethoprak yang terkenal di era 90an. Tepatnya pada tahun 1990, sebuah media cetak memuat cerita tersebut. Selain sebagai pelipur lara, juga menjadi sebuah strategi pemasaran koran yang menekankan pada penyesuaian konten dengan emosi para pembaca.

Kala itu, berita kekalahan Irak atas Amerika membuat pembaca malas membeli koran. Akhirnya disisipkanlah cerita tersebut secara bersambung. Untuk lebih menarik perhatian, dibuatlah sayembara dengan total hadiah mencapai ratusan juta.

Berdasarkan sumber yang kurang dipercaya, Ampak-ampak Singgelapura bercerita tentang perebutan putri mahkota (sapa ngono jenenge) oleh beberapa ksatria. Dan akhirnya ada salah satu dari mereka yang berhasil memenangkan sayembara perebutan putri mahkota itu.

Jika gambaran umum cerita yang saya tulis di atas benar, maka boleh dibilang lakon kethoprak itu memuat sayembara yang disayembarakan. 😀

Referensi: https://thedahlaniskanway.wordpress.com/2013/03/17/ketoprak-sayembara-pelipur-lara/

Dunia Online Tak Kenal Tanggalan

Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Hari ini ada tonggak sejarah baru tertancap di lingkungan kerjaku. Pencerahan dari Sang Maha Kuasa muncul begitu saja tanpa kami memintanya. Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Media online yang dulu dianggap dewa penolong dalam penyaluran segala macam informasi, kini berbalik menjadi hal yang ditakuti. Ada suatu pola pemanfaatan media sebagai ajang penjatuhan nama baik. Tak tahu siapa yang paling diuntungkan, yang jelas, ada suatu keuntungan yang didapat sesaat setelah menulis berita secara online.

Berawal dari kejadian kriminal yang kebetulan menyangkut nama institusi kami, akhirnya muncullah beberapa berita yang hingga kini kami nilai mencoreng nama baik. Berita yang semestinya sudah kadaluwarsa, muncul kembali begitu saja. Dan dapat kami pastikan akan meracuni siapa saja.

Kalau begini aturannya, menulis berita tak perlu pakai tanggalan lagi. Berita lama yang menyakitkan tetap bisa meracuni siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Aku Dewasa (Bukan) di Sekolah

AKU DEWASA (BUKAN) DI SEKOLAH

Oleh: Dra. Heny Rahayu

NIP 19621025 199512 2 002

 

Aku dengar aku lupa

Aku lihat aku ingat

Aku lakukan aku paham

Aku temukan aku kuasai

 

Sajak Confusius pengantar tidurku malam ini

Sayang, ia tak membuatku lelap

Seperti titir kenthogan yang membuat gusar bawah sadarku

Aku terpaksa bangun dengan berjuta pikiran kacauku

 

Pagi buta mataku terbuka

Menyentuh kan jiwaku pada kesunyian yang mulai tipis intensitasnya

Kokok ayam jago tetangga masih jadi isyarat beralihnya malam

Sinar surya menembus ranting dedaunan

 

Aku masih enggan ke sekolah

Trauma mendalam menyelimuti sukmaku

Jika aku ke sana, pasti aku tak dapat apa-apa

Penyesalan selalu tertata rapi dan siap kubawa pulang

Setiap hari

 

Untaian kata Paulo Freire menantang semangatku

Pembangunan tak tercapai dalam kondisi bisu

Apalagi hanya dengan suara semu!

 

Hai sekolah para priyayi!

Hai sekolah, sekolah dengar!

Atas dasar apa kalian gemborkan prestasi?

Sungguh aku takjub atas keluarbiasaanmu!

 

Sungguh aku sangat berdosa

Jika tak mau berbagi,

Kesungguhan dalam menyikapi hal ini,

Kuharap bisa memperbaiki

 

Rangkai ulang

Ungkapkan

Kaji-urai

Simpulkan

dan setiap hari Bertindak

 

Pendiri bangsa ini lahir dari sekolah rakyat

Sekolah biasa

Menjunjung tinggi harkat dan martabat

Harapan pasti ada

Jika semua bekerja sama

 

Tani Sakti

TANI SAKTI

Oleh: Dra. Heny Rahayu

NIP 19521025 199512 2 002

 Pak Ngabdul masih belum bisa meredam pikirannya pagi ini. Imipiannya tadi malam masih sangat jelas tergambar. Kelihatannya kepingan puzzle idenya hampir ketemu. Ia mengubah posisi duduknya. Yang semula jigang bersandar di tembok depan rumah, kini ia terlihat sila methekel. Kemudian ia menghisap rokoknya lebih dalam daripada sebelumnya.

“Belum berangkat ta, Pak?” suara Bu Sakinah memecah konsentrasi Pak Ngabdul.

“Ah, Bune, Bune. Sukanya kok ngganggu orang sedang bepikir saja!”

“Berpikir terus! Kapan kerjanya?!”

“Kamu ndhak tahu pola pikir saya, Bu. Diam saja!”

“Kalau sudah tani, ya tani saja! Ndhak usah macem-macem, Pak!”

Nyoba mikir cari kerja lain kan ya boleh ta, Bu. Orang kok pikirannya tidak berkembang.”

“Kerja lain apa? Maling?”

Pak Ngabdul menoleh ke istrinya dengan mata terbelalak. Ia tidak menyangka kalau istrinya berani mengucapkan kalimat semacam itu.

Bu Sakinah kembali ke dapur. Ia kesal dengan tingkah laku suaminya. Akhir-akhir ini omongannya mirip orang berkhayal. Tiap hari yang dibicarakan selalu saja Mas Norman. Pegawai negeri yang sukanya cuma dolan. Meski begitu, mobilnya gonta-ganti terus tiap bulan. Kerja sampingannya ngajak orang-orang kumpul. Mirip seperti rembugan RT itu. Lalu orang-orang daftar pakai uang. Dapat bonus tiap bulan. Tiap tahun uangnya berlipat ganda. Menggunung emas, mirip lautan berlian.

Pak Ngabdul mulai terpengaruh bisnis itu berkat dorongan kuat dari Mas Norman.

“Bu, ini bisnis, lho!” Pak Ngabdul setengah berteriak. Biar istrinya yang di dapur dengar.

“Bisnis?” Bu Sakinah tidak yakin.

“Iya, Bu. Zaman sekarang, petani seperti kita ini harus inovatif, Bu!”

“Inovatif yang bagaimana ta, Pak? Lha wong jenengan saya suruh belajar buat kompos saja tidak mau. Dikasih buku sama Man tentang kremi EM-4 yang menguntungkan juga belum dibaca.”

Pak Ngabdul mendekati istrinya yang sedang isah-isah.

“Pokoknya ini menjanjikan, Bu. Itu baru setahun, lho. Baru satu juta. Coba bayangkan kalau uangnya itu seharga sawah kita?!”

“Pak! Jangan singgung-singgung lagi masalah jual sawah!” Bu Sakinah berhenti mencuci piring.

“Tapi, Bu. Ini demi…”

“Tidak, Pak. Itu satu-satunya warisan dari Mbah Wa Saman.” Tukas Bu Sakinah sambil berdiri, kemudian menata piring-piring yang sudah selesai dicuci.

Merasa diskusinya dengan sang istri tidak menemui jalan keluar, akhirnya Pak Ngabdul berangkat ke sawah. Sepanjang jalan, pikirannya masih terbayang ajakan Mas Norman. “Pokoknya aku harus dapat jalan!” katanya dalam hati. Langkahnya menuju sawah makin cepat.

Sampai di sawah, ia melihat tanaman jagung Pak Wira yang sudah tinggi-tinggi. Jantennya sudah keluar. Luar biasa. Sedangkan miliknya, benihnya saja baru selesai ditanam dua minggu kemarin.

Piye, Dul?” sapa Pak Wira sedikit mengejek.

“Apanya, Pak?”

“Tanamanmu kok biasa saja? Tidak sebagus tanamanku ini lho. Ini lho, coba kamu lihat,”

“Biar saja. Itu, tanaman saya juga sudah siap dangir kok, Pak,” sambil menunjuk tanamannya yang baru setinggi anak ayam.

“Haha, sudah tanggal segini kok baru dangir,”

“Biar saja. Sebentar lagi saya mau pindah profesi. Saya mau ikut bisnis menjanjikan,” lalu Pak
Ngabdul menuju sawahnya.

Sepulang dari sawah, perbincangan tentang menjual sawah itu kembali terulang. Kali ini Pak Ngabdul lebih ngotot. Pasalnya, nanti jam delapan malam, Mas Norman sudah menunggu keputusannya.

“Jadi orang mbok jangan egois ta, Bu!”

“Kamu itu Pak yang grusa-grusu. Aku ini kurang ngalah gimana coba?”

“Dasar wong wedok tidak tahu diuntung! Goblok!” setelah melemparkan cangkir jembung warna hijau ke lantai, Pak Ngabdul lalu pergi.

Mendengar ucapan suaminya, Bu Sakinah hancur hatinya. Menangis sejadi-jadinya. Ia merasa serba salah. Selama ini ia sudah rela hidup sederhana. Tapi masih saja mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan dari suaminya.

Sampai di rumah Mas Norman, Pak Ngabdul mendapat penguatan lebih hebat dari sebelumnya.

“Sebulan kita bisa dapat sepuluh juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu tujuh ratus lima puluh tujuh rupiah, Pak!” tandas Mas Norman.

“Wah, banyak sekali ya, Mas.”

“Jangan heran dulu, Pak. Ini belum bonusnya.”

“Bonus?”

“Iya. Bonus kesetiaan 5 %. Bonus kerelaan 10 %. Sawah jenengan itu sudah cukup untuk modal awal. Tunggu apa lagi, Pak?”

“Baik, Mas. Tapi…”

“Ya kalau jenengan belum bisa ikut sekarang, biar Mas Sarmo dulu saja. Sawah beliau kemarin sudah ada yang nawar tiga puluh.”

“Satu lagi, Pak. Bisnis ini butuh fokus. Kalau fokus, berhasil. Kalau tidak, ya tidak. Ndhak boleh jadi bisnis sampingan,”

Lha jenengan kan pokoknya jadi pegawai negeri, Mas?”

“Siapa bilang, Pak. Pegawai negeri itu pekerjaan sampingan saja,” kata Mas Norman yang kemudian tertawa terbahak-bahak.

Pak Ngabdul pasti berhenti berkhayal kalau sudah ingat sawahnya. Malam ini ia kembali pulang dengan beban yang makin banyak. Ia merasa sungkan karena tidak segera memberikan keputusan di hadapan Mas Norman tadi. Padahal menurutnya, Mas Norman itu orang yang baik sekali. Sudah bersusah payah mau memberi jalan untuk mengubah nasib orang kecil. Tanpa meminta imbalan. Apalagi setiap datang ke sana selalu disuguhi rokok samsu dan white coffee. Jarang sekali ada orang sebaik Mas Norman di Dusun Wangun ini.

Tambah lagi, kalau sampai Mas Sarmo yang selama ini terkenal jadi saingan pamor Pak Ngabdul lebih dulu kaya, apa jadinya nanti. Pasti semua orang menganggap remeh pada Pak Ngabdul. Belum lagi masalah orang-orang sedusun Wangun yang sudah tahu kalau Pak Ngabdul mau pindah profesi jadi bisnisman.

Tapi ia juga sadar, istrinya tidak seperti yang diharapkan. Bagaimanapun caranya, istrinya pasti bersikukuh tidak mau menjual sawah warisan itu. Bisa saja Pak Ngabdul diam-diam menjualnya. Tapi, Mbah Wa Saman itu dukun sakti. Pasti arwahnya selalu mengganggu kalau sampai sawah itu dijual. Apalagi tanpa sepengetahuan Bu Sakinah, anak angkatnya.

Sampai di perempatan dekat Kuburan Gedhong, ia berhenti. Ia menguatkan tekadnya untuk matek Aji Sirep Begananda malam ini.

Itu ilmu maling. Ia tidak akan diketahui karena seluruh penghuni rumah terlelap tidur. Ya, para pencuri memiliki ajian ampuh yang bernama Aji Sirep Begananda. Untuk memiliki ajian hebat ini, dulu Pak Ngabdul harus puasa mutih 21 hari atau 40 hari dan meneruskan dengan puasa pati geni 3 hari atau 7 hari, yang dimulai dengan hari Rebo Pon.

Setelah mengambil segenggam tanah kuburan, Pak Ngabdul kembali meneruskan langkahnya. Ia sudah bersiap beraksi malam ini. Mau maling, di rumahnya sendiri!

Di depan rumahnya, Mantra Aji Begananda pun dibacakan:

Hong ingsun amatak ajiku sirep begananda kang ana indrajit, kumelun nglimuti ing mega malang, bul peteng dhedet alimengan upas racun daribesi, pet pepet kemput bawur wora wari aliweran tekane wimasara, kang katempuh jim setan peri prayangan, gandarwa, jalma manungsa tan wurung ambruk lemes wuta tan bisa krekat, blek sek turu kepati saking kersane Allah.

Bu Sakinah yang ada di dalam rumah sejenak kemudian terkena efek mantra itu. Sedari tadi ia menanti suaminya pulang. Tapi kini sudah tak kuat lagi menahan kantuknya. “Le, Man. Kalau sudah selesai belajarnya, terus tidur, ya.”

Tidak terdengar jawaban dari Man, anaknya. Bisa dipastikan ia sudah tidur lebih dulu. Lantas Bu Sakinah pun tertidur di kursi ruang tamu.

Meski masuk rumahnya sendiri, Pak Ngabdul sadar malam ini ia bukan sang empunya rumah itu. Ia resmi disebut maling. Khusus untuk malam ini.

Segera saja ia menuju kamar. Bu Sakinah yang sudah terkena sirep, hanya dilihatnya sekilas. Dalam hatinya ia meminta izin, “Nah, semua ini aku lakukan demi masa depan kita.”

Kotak kayu ukiran itu dibuka. Semerbak wangi kembang melati menyebar ke seluruh sudut kamar. Tangan Pak Ngabdul gemetar. Tapi kata hatinya ia abaikan. Langsung saja ia ambil sertifikat sawah warisan yang jadi bahan perdebatan beberapa hari ini.

Semua isi almari dirasa sudah kembali seperti kondisi semula. Cepat-cepat Pak Ngabdul keluar rumah. Mumpung masih jam sepuluh malam, pasti Mas Norman belum tidur. Begitu pikirnya.

Sebelum menuju ke rumah Mas Norman, di depan rumahnya ia berhenti. Menoleh ke belakang beberapa detik. Senyum keberhasilan yang ia sunggingkan masih mirip seperti beberapa tahun yang lalu. Waktu ia melakukan aksi bejatnya ini di beberapa rumah di kawasan Surakarta.

Di perempatan dekat Kuburan Gedhong, ia kembali terhenti. Secara psikologis ia dipastikan tertekan atas kelakuannya malam ini. Beberapa jam tadi ia berhasil melupakan sumpah janjinya untuk tidak maling lagi. Tapi kini sumpah pocong itu bergema di langit malam Dusun Wangun. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya gemetar. Matanya berkunang-kunang. Keringat dinging keluar dari tubuhnya. Tak mampu lagi ia menopang tubuhnya. Pak Ngabdul ambruk di tengah-tengah perempatan. Membujur ke utara.

Dalam ketidaksadarannya, ia seolah berjalan di hamparan sawah yang tak ada ujungnya. Lama sekali.

Tak disangka, ia berjumpa dengan Mbah Wa Saman.

“Dasar bajingan! Orang tidak tahu diuntung!” tangan Mbah Wa Saman menyasar ke perut Pak Ngabdul.

“Ampun, Mbah Wa. Saya mengaku salah.”

“Saya rela sawah itu dijual. Asalkan untuk kuburanmu! Sisanya, biarkan tetap jadi lahan tanam.”

“Maafkan kelakuan saya, Mbah. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya minta bantuan kepada jenengan, Mbah. Biar saya tidak gegabah lagi,”

“Mintalah bantuan kepada dirimu sendiri! Sudah, pulang sana!”

Adzan Subuh mengembalikan kesadaran Pak Ngabdul. Sertifikat itu masih didekapnya erat. Segera saja ia pulang.

Sampai di rumah, ia melihat istrinya masih tertidur. Man juga belum pindah dari kasurnya. Sadar akan kesalahannya beberapa hari ini, ia berniat memperbaiki diri. Ia pergi ke dapur untuk nggodhog wedang. Semua alat makan ia cuci bersih. Kemudian ia menyeduh kopi.

Dalam kesadarannya, ia mencoba menata kembali kehidupannya yang wajar. Kembali ke pola pikir sederhana tentang jagung, ayam, kambing, sapi, dan tanah. Jagung, jagung, jagung, jadi ayam. Ayam, ayam, ayam, jadi kambing. Kambing, kambing, kambing, jadi sapi. Sapi, sapi, sapi, jadi tanah. Tanah, tanah, tanah, jadi mobil mewah. “Ah, tidak usah” pikirnya, “tanah yang tak berujung itu, akan
kutanami jagung yang lebih banyak lagi.”

Wati Salon #2

BU SRI
Sing tenang, Ndhuk. Wis tak cepakne.

WATI
Ya, Bu. Aku percaya Ibu wis nyiapne sangu. Ndi, Bu? (Tangane ngathung)

BU SRI
Nyoh, Ndhuk. (Mak teplok. Dhuwit sewu wis neng tangane Wati)
Sing limang atus ditabung ya, Ndhuk ya!

WATI
Yaelah, Mah. Cuma segini?! (Nyengir)

BU SRI
Cah SD kuwi dhuwit sak mono wis akeh. Wong ya neng ngetas wis enek panganan.

WATI
Lha ngko nek aku pengin apa-apa piye, Bu?

BU SRI
Ya diempet dhisik ta, Ndhuk, Ndhuk.

WATI
Ngung, ngung, ngung… (Nggedumel ora cetha)

BU SRI
Eh, Ndhuk. Tak rungok-rungokne ket mau kok ora basa karo ibu?

WATI
Injih, Bu. Matur sembah nuwun dene kawula sampun dipunparingi sangu kangge jajan.

BU SRI
Nah, pinter. Putrane sinten?

WATI
Putranipun Bu Sri.

BU SRI
Biyuh, biyuh. Ayune neh. Iki tambahane sangu, (Milih dhuwit neng dompet. Nggoleki dhuwit ewon sing wis kepleh. Elik. Uthek rada suwi)

KRUNGU OMONG-OMONGANE WATI LAN IBUNE, PAK WIRA NGUPING. TAMBAH NESU NALIKA KRUNGU SEMAURE WATI SING KERI DHEWE. MOSOK ORA DIAKONI DADI BAPAK. PIYAMBAKE MANDHEG OLEHE NYEMIR SEPATUNE WATI. BANJUR NOLEH. SEPATU DIGUWAK METU. MAK SEMPRUNG NYEDHAKI BU SRI.

PAK WIRA
(Plak! Namplek tangane Bu Sri sing ngelungne sangu tambahan. Terus Bu Sri digeret nyang pawon)

O, dadi kaya ngono olehmu ngajari Wati basa?! Iya?! (Lirih ning getem-getem)

Kowe pengin, anakmu gelem basa mung yen entuk dhuwit?! Iya?!

Pikiren, Sri! Pikiren! (Karo nduding pilingane dhewe)

BU SRI
Ya sepurane wae ya, Pak. Aku kleru. (Ndhingkluk)

PAK WIRA
Ora papa. Wis kana. Tak atasane.

BU SRI BALI NEMONI WATI. YEN WIS NGENE IKI, APALANE PAK WIRA AREP NERUSNE SANDIWARANE. PARING TULADHA MRING PUTRINE.

BU SRI
Ndhuk, sangune ora sida tak tambahi, ya.

WATI
Yuh, emoh, emoh. Bue nakal. Jahat. Aku nangis arepan. Satuuu, duaaa… (Sikile gejrug-gejrug)

DURUNG NGANTI ETUNGAN TIGA, PAK WIRA METU SAKA PAWON.

PAK WIRA
Tiga! (Malang kerik)
Ndang nangisa! Ndang!

WATI
Boten, Pak. (Wedi)

PAK WIRA
Bocah aleman!
Kana gek budhal! Jare arep sekolah kok mung gembyeng wae!
(Mlaku nyang pawon. Mbuh njipuk apa)

WATI
Ayo, Bu! Terne! (Mewek. Nggandhuli tangane ibune)

BU SRI
Budhal dhewe ta, Ndhuk. Wong sekolahane mung kulon omah ngono kok. Kae lho wis dienteni kanca-kancamu. (Nduding neng njaba)

BUDI, ANI, & ANDI
Watiii! Ayo mangkat! (Nadane munggah midhun)

WATI
(Noleh kancane) Yuh, emoh!

PAK WIRA
(Metu saka pawon. Nggawa godok)
Urung sida budhal?!

WATI
(Kaget. Mak jranthal mlayu metu) Kula bidhal riyin. Dadah…

BU SRI GEDHEG-GEDHEG KARO MESEM. PAK WIRA NYUMET UDUT, JARE BEN TENANG.

(Bersambung)

Wati Salon #1

Wati Salon #2

Wati Salon #3

Wati Salon #4 (Habis)

Perkenalan: Aku Pak Bei

Dikisahkan ada seorang lelaki. Dia kini dipanggil Bapak karena telah punya seorang anak. Bapak itu usianya masih cukup muda. Kira-kira kelahiran delapan lima. Badannya tinggi. Kulitnya hitam. Berkumis tipis. Rambutnya keriting sebahu. Tiap hari habis dua bungkus jisamsu.

Beberapa kemeja ia miliki. Tapi hanya beberapa kali ia mencuci. Bagaimana mau sering dicuci. Dipakai saja belum tentu sebulan sekali. Tiap hari ia pakai kaos oblong celana tiga per empat tinggi asli. Warnanya bisa gonta-ganti. Continue reading “Perkenalan: Aku Pak Bei”

Orang Kota

Pagi tadi ada pendatang baru. Asalnya dari kota. Orangnya menggiurkan. Gaya rambutnya mirip bintang iklan. Bajunya baru. Kulitnya putih. Wajahnya berbinar. Tinggi semampai, tapi sayang ia bukan perawan. Asli laki-laki.

Sorot matanya sayu. Lidahnya kelu. Padahal tak ada keadaan yang mendukung sikapnya itu. Wajar saja. Ia kan orang baru. Mungkin masih malu-malu.

Satu hal yang paling tidak saya suka. Ia berlagak apa-apa tidak tahu. Kegiatan yang seharusnya lumrah ia lakoni, seolah asing belum pernah dijalani. Barang elektronik yang wajar dimiliki warga kota, malah ia banyak bertanya tentangnya. Orang terkenal yang seharusnya ia kenal, malah tidak hafal.

Ini sebuah trik. Agar orang desa seperti kami menganggapnya baik hati. Padahal dibalik itu, kami semua menahan emosi.

Sudahlah, Nak. Di zaman ini, orang baik yang benar-benar asli saja masih dicurigai. Apalagi hanya pura-pura baik. Satu hal yang saya takuti. Tingkahmu yang pura-pura bodoh itu menjadi kenyataan di kemudian hari.

Ehm, tapi. Kelihatannya saya malah takut sama diri saya sendiri. Apa jangan-jangan kamu benar-benar orang baik yang asli, ya?

Salaman Salim Slamet

Judulnya mirip gaya bicara Pak Guru Bahasa Arab. Beliau sedang menerangkan akar dari sebuah kata, Salaman. Tapi maksud saya bukan itu. Saya mau cerita tentang peristiwa salaman.

Salaman adalah istilah untuk dua orang dewasa yang sedang berjabat tangan . Kalau untuk orang yang belum dewasa, biasanya diminta salim. Tadi pagi saya salim dengan Pak Slamet.

Apa saya belum dewasa? Menurut saya sih sudah. Cuma saya masih suka terlambat.

Baiklah, pembaca. Kebetulan saja Pimpinan saya namanya Pak Slamet. Setiap pagi, beliau sudah datang duluan. Begitu juga pagi ini. Akhirnya kami salaman.

Tapi salaman yang tadi rasanya berbeda. Seolah ada pesan yang ingin beliau sampaikan kepada saya.

Perlu diketahui bahwa: saya hobi terlambat. Berulang kali diingatkan oleh rekan-rekan. Bahkan seminggu yang lalu saya ditegur Pak Slamet via SMS. Intinya, beliau meminta saya untuk lebih dewasa lagi. Meminta saya untuk berpikir lebih cerdas bahwa terlambat adalah awal dari rusaknya agenda keseharian saya. Juga akan mengancam keselamatan saya jangka panjang.

Akhirnya saya simpulkan. Peristiwa salaman tadi pagi (yang agak lama durasinya itu) berisi pesan: Mas, kalau peringatan saya lewat SMS tidak mempan, sampeyan saya tegur lewat kontak batin. Semoga mujarab.

Tata Cara Bertamu

Dalam masyarakat Jawa, bertamu ke rumah seseorang tidak harus memberi tahu terlebih dulu. Apalagi kalau bertamu hanya untuk mengantarkan uang. Karena ada burung prenjak yang siap memberikan tanda peringatan. Cemblek thir… Cemblek thir…

Waktu yang bertepatan dengan saat makan tidak baik untuk bertamu. Pagi hari dan sore hari juga tidak baik untuk bertamu. Soalnya pada waktu-waktu ini, si empunya rumah sedang bersih-bersih pekarangan dan mandi.

Jangan anggap saran ini menyulitkan orang lain yang ingin bertamu. Ketajaman spekulasi benar-benar diuji dalam hal ini.

Sumber: Kridalaksana, Harimurti, dkk. 2001. Wiwara: pengantar bahasa dan kebudayaan Jawa.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Aku Ingin Pizza

Tiap ada iklan pizza itu, semua putra-putri Pak Ngabdul serentak bersorak, “Bernyayi bersama sambil ber ha rap!”

 

“Ora sah rame, Ndhuk, Le. Ngerti wengi apa ora?!” sahut Pak Ngabdul.

 

“Berlindung bersama sambil ti a rap!” mereka menyahut lagi.

 

(Krompyang!!!)

Cangkir jembungnya Pak Ngabdul mendarat tak beraturan.