Mempercepat Pertumbuhan Kumis

Kumis yang ia dambakan kini terwujud sudah. Setelah beberapa bulan menanti, kini panjangnya sudah mencapai 3 inchi. Cukup panjang untuk ukuran kumis pria normal di desa sini.

Meski belum bisa menyaingi kumisnya Mbah Fu Manchu, tapi Pak Wira cukup terlihat wagu.

Kali ini usahanya terbilang berhasil. Pasalnya, sudah berulang kali ia mencoba memanjangkan kumis. Tapi selalu gagal. Terakhir kalinya, seingat saya, ia gagal karena hal yang cukup sepele.

Setahun yang lalu, kumis Pak Wira sudah mencapai 1,5 inchi. Wati, yang saat itu masih berusia 5 tahun sedang ada di pangkuannya. Pagi yang cerah membuatnya ingin berjalan-jalan sambil mengajak Wati. Sampai di depan rumah Mbah Cip, Wati menangis. Dokar milik Mbah Cip yang waktu itu belum dijual telah merampas semua perhatian Wati.

Mampirlah Pak Wira ddan Wati di rumah Mbah Cip.

Setelah mendudukkan Wati di atas dokar, lantas Pak Wira jagongan dengan yang punya rumah. Obrolan makin asyik ketika sepe goreng dihidangkan oleh Mbah Yem.

Tersingkatlah cerita ini.

Sedang enak-enaknya makan sepe goreng, Wati menjerit kesakitan, “Wadhuh, Pakeee Wir! Wiraaa!”

Dengan gragapan Pak Wira mendekati sumber suara. Naluri seorang ayah terlihat jelas saat adegan itu. Tapi, Mbah Cip menghadang langkahnya.

Aja nyedhak, Wir! Yang njerit tadi bukan Wati!” kata Mbah Cip sambil memegang tangan Pak Wira.

Pripun ta, Mbah? Lha wong jelas yang duduk di dokar cuma Wati. Nanti kalau kenapa-kenapa, bagaimana horok?” Pak Wira mulai gugup.

“Potong kumismu! Itu satu-satunya cara biar yang menjerit tadi tak kesakitan lagi.”

Alah yung, biyung… Hubungannya apa, Mbah?” Pak Wira menggerutu.

“Jiwamu merasa kesakitan atas kesombongan yang selama ini bersarang di tiap helai kumismu itu, Wir! Ia tak mampu menjerit sekeras tadi tanpa perantara Wati. Anakmu…”

Wadhuh, Pakeee Wir! Wiraaa!” Wati menjerit lagi.

“Cepet potong, Wir!”

“Tapi, Mbah…”

Alah, kesuwen!”

Kres!
(Cuthel)

Janggel

Blug!

Pothelan janggel itu dibuang ke latar. Beberapa biji jagung masih menempel. Dengan segera sejumlah ayam bangkok muda beradu ketangkasan. Mematuk pothelan janggel. Berebut. Beradu kuat.

Sepintas mereka terlihat dewasa. Berusaha keras memenuhi hajat hidupnya. Wajar, masih muda, tangkas, dan kuat.

Tapi, apakah mereka meraup untung dari polah tingkah mereka yang serba nggaya itu? Tidak.

Sisa biji jagung yang mereka perebutkan tak satu pun masuk perut. Semua mencelat.

Beruntunglah dua ekor ayam (jantan dan betina) tua. Mereka tampak lebih tenang. Dengan langkah pasti dan teliti memungut rejeki. Satu per satu sisa biji jangung akhirnya mereka kuasai.

Aku Bangga Dibilang Kampungan

Mangan ora mangan sing penting kumpul. Itu kalimat yang disoroti oleh Wasis Gunarto (pemerhati kuliner), dalam Kumpulan Cergam Kampungan.

Beliau menegaskan, kalimat ujar-ujar yang dipopulerkan Umar Kayam itu mampu memasukkan makna-makna kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Lebih tepat lagi, kata beliau, kumpulnya itu bukan sekedar makan demi keperluan pribadi semata. Melainkan untuk anak turun mereka.

Kalau unen-unen ini sudah populer di awal abad 20 silam, tentu waktu itu sudah ada tempat khusus di pikiran mereka tentang masa depan sekelompok ‘anak turun’. Lantas, siapa yang mereka maksud anak turun? Ya kita ini.

Masih tidak mau mengakui kalau kita semua keturunan orang ndesa (ndeso)? Lebih cetha lagi: orang ndesa yang sangat gigih menjaga kekayaan peradaban mereka sendiri. Berbudi luhur, santun, dan cerdas.

Masih nggaya sok jijik mempraktikkan hal-hal yang terkesan tradisional?

“Kesan tradisional itu lak muncul setelah apa-apa dimuseumkan. Kampanye museumisasi memaksa orang zaman sekarang merasa jadi kaum modern. Melihat budayanya sendiri malah berujar: tradisional banget sih, elu!” tandas beliau.

Janji Palsu

Sepeda yang ia miliki kini sudah menganjak usia empat tahun. Jangka waktu kredit yang cukup lama untuk ukuran orang Indonesia. Meski begitu, Pak Ngabdul tetap bersyukur bisa memiliki sepeda.

Ia sangat sayang dengan sepedanya. Acara apa pun ia datangi bersamanya. Cukup pantas jika ia dibilang sebagai penyayang sepeda. Namun hal ini hanya terlihat empat tahun yang lalu. Waktu sepedanya masih baru.

Lama-lama hal itu memudar. Kalau dulu ia mencuci motornya setiap hari, kini sebulan sekali pun belum pasti. Sepedanya terlihat sangat kotor. Kedua bannya halus. Rantai sepedanya kendor dan berbunyi saat dipakai berjalan. Remnya hampir blong. Lampu sein yang kiri mati. Predikat penyayang sepeda sudah tak melekat lagi padanya.

Entah kenapa, hari ini agaknya berbeda. Pagi-pagi ia sudah berkata dalam hati. Ingin sekali ia mencuci sepedanya. Oh, mungkin hari ini ia sedang libur kerja. Makanya punya niat seperti itu.

Kegiatan rutinitasnya pun ia mulai. Sejak pukul 7 pagi, ia sudah membersihkan halaman. Menyusul kemudian menata beberapa buku yang berserakan di ruang tamu. Sampai pukul 11 siang, ia tak kunjung memulai rencananya mencuci sepeda.

Hingga akhirnya, senja pun tiba. Ia baru teringat kalau selepas magrib ada undangan. Lalu ia bergegas dandan, kemudian berangkat mendatangi acara kondangan di rumah Pak Lurah.

Tak disangka sebelumnya, saat hendak berbelok ke kiri, jagrak sepeda motornya menyangkut aspal. Ia terpelanting ke arah kanan. Jatuh tersungkur membujur.

Helm yang ia kenakan menggelinding hingga beberapa meter jauhnya.

Kabel remnya putus. Kedua ban sepeda motornya robek. Hingga terlihat kawatnya.

Ia merasa kesakitan bukan main. Ia berteriak kesakitan. Tapi teriakannya itu tak didengar oleh seorang pun. Beberapa kali ia mencoba bangkit, tapi tak bisa. Kesadarannya pun hilang.

Beberapa menit kemudian ia terlihat dikerumuni orang. Banyak sekali.

Ia kembali sadar. Saat orang-orang mencoba mengangkatnya ke pinggir jalan, ia menolak. Katanya ingin sekali melihat kondisi sepedanya.

Sepeda yang masih tergeletak itu memaki dirinya sendiri. Beribu perasaan bercampur menjadi satu. Ia kesal kepada juragannya. Bisanya cuma berjanji. Tak pernah ditepati.

Tapi ia juga kecewa telah membuat juragannya jatuh.

Seolah mengerti dengan apa yang dirasakan sepedanya, Pak Ngabdul lalu berlutut di hadapan sepeda itu. Ia sangat merasa bersalah telah membuat janji yang tak ditepati. Apalagi berjanji dengan benda mati.

Ia kemudian berucap dalam hati. Berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

(Janji lagi?)

Lagu Malam Seekor Anjing

Ditulis oleh: Indra Tranggono

Dicopy dari: https://cerpenkompas.wordpress.com/2006/05/28/lagu-malam-seekor-anjing/

Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap.

Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku.

Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah!

Aku menggonggong lagi. Sangat keras. Kukatakan, aku sangat tidak senang kepada tamu yang tidak sopan, yang datang malam-malam dan menambah pekerjaaanku. Semestinya aku sudah tidur, bermimpi bisa bertemu dengan Moli, anjing tetangga yang lama kutaksir itu. Aku sangat ingin bercinta dengannya, dalam mimpiku malam ini. Tapi cita-cita itu telah digugurkan oleh orang yang tidak tahu diri itu. Dasar tidak manusiawi!

Mendadak kudengar sebuah benda jatuh di depanku. Kuamati. Ternyata segumpal daging sapi segar. Aku sangat hafal baunya. Tuanku setiap pagi dan sore memberiku daging seperti itu. Si pelempar itu mungkin menduga aku langsung menyantap daging itu. Aku tersenyum masam. Daging itu hanya kulihat lalu kutinggalkan. Aku bukan anjing bodoh yang tidak bisa membedakan mana daging segar dan mana daging penuh racun. Orang itu juga terlalu meremehkan. Dia mengira aku bisa diakali hanya dengan segumpal daging. Bukannya sombong. Pengalamanku menjadi anjing belasan tahun membuat aku sangat terlatih untuk membedakan mana pemberian yang tulus dan mana pemberian yang basa-basi, penuh pamrih bahkan ancaman. Melihat caranya memberikan daging saja aku sudah sangat tersinggung. Betapa orang itu tak punya sopan santun. Aku memang sangat mengharap pemberian orang, tapi aku bukan pengemis. Meskipun anjing, aku tetap punya harga diri. Martabat anjing harus kujunjung tinggi.

Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak menyerah. Ini usaha yang sangat kuhargai. Ia melemparkan lagi segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati dihajar massa gara-gara tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur: ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini.

Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh masih punya niat baik.

Namun, kebanggaan yang diam-diam menggumpal dalam rongga dadaku itu, akhirnya pudar. Ketika aku mengitari rumah tuanku, aku melihat orang itu duduk di pojok halaman di bawah pohon rambutan. Aku mundur beberapa langkah, siap-siap melawan jika orang itu menyerangku. Kepada sesama anjing, aku bisa menduga niatnya. Tapi kepada manusia? Ah, hati manusia tak bisa dijajaki. Penuh misteri. Mereka bisa saja menyimpan rapi kekejaman di balik senyum ramahnya. Aku harus waspada. Awas!

Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam. Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memberikan isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Kuamati orang itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya, penuh kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah! Urat orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul dengan para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai, sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku.

Ya, Tuhan, dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu cengeng. Tapi sebentar… tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing yang terharu). Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-diam ia menyimpan pisau, dan siap dihunjamkan di perutku. Maka, kuambil jarak beberapa depa. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut anak gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu).

Semula kupikir dia sengaja menjual iba kepadaku. Bukankah kebanyakan manusia itu tukang main drama yang ujung-ujungnya hanya menelikung pihak lain? Tapi, sebagai anjing yang terbiasa membedakan mana yang tulus dan mana yang basa-basi, aku berani menyimpukan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah kenapa, naluriku memaksaku berpikiran begitu.

Aku pun mulai menimbang-nimbang untuk memberikan kebebasan orang ini bisa masuk rumah tuanku, mengambil sedikit barang-barang agar tangis anak istrinya berhenti. Kukibaskan ekorku, mengenai kakinya. Dia memandangku. Kulihat sumur penderitaan yang begitu dalam dan gelap. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Kubalas sentuhan itu dengan kibasan ekorku yang menyentuh kakinya. Rupanya ia tanggap. Ia pelan-pelan bangkit, menyiapkan berbagai peralatan, ada besi pengungkit, drei, pukul besi, alat pemotong besi, alat pemotong kaca, linggis kecil dan masih banyak yang lain. Ternyata perlengkapan maling jauh lebih lengkap dan canggih daripada bengkel. Aku terharu sekaligus bangga dengan usahanya untuk menjadi maling beneran. Maling pun tetap harus serius, agar tidak konyol dicincang massa.

Pelan-pelan ia menyelinap pepohonan. Hujan turun makin deras. Aku terpejam dan tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan orang itu di rumah tuanku. Diam-diam aku merasa berdosa atas pengkhianatanku, namun aku juga berdoa semoga orang itu selamat. Yang kubayangkan hanyalah tangis anak istrinya di rumahnya

Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa bungkusan. Aku hanya berdoa semoga saja dia bukan maling yang rakus dan hanya mencuri arloji, hand phone, atau benda lainnya. Dengan langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya. Aku menunduk. Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging. Dengan bahasa isyarat, ia meyakinkan bahwa daging itu murni, bukan seperti yang dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera makan.

Tiba-tiba kudengar kegaduhan dari dalam rumah tuanku. Istri tuanku menjerit-jerit histeris, sambil menyebut kalung berliannya yang hilang. Suaminya berteriak-teriak sambil berlari keluar, diiringi letusan senapan yang membabi buta. Kata “maling” diteriakkan berulang-ulang. Aku memukul kaki orang itu dengan ekorku, dan berharap ia segera berlari. Ia tampak panik, dan canggung. Mungkin ia merasa berat berpisah denganku. Tapi aku terus memaksanya untuk segera lari. Aku sangat panik. Kulihat tuanku berlari makin mendekati tempat pertemuan kami. Senapannya terus menyalak. Aneh, maling itu tetap diam. Aku memaksanya lari. Tapi ia hanya berlindung di balik pohon rambutan. Sial, muncul kilat. Tempat kami mendadak terang dalam sekejap. Kontan tuanku langsung melepas timah panas. Orang itu tumbang, rebah ke tanah. Muncrat darah merah dari dadanya. Aku menggonggong sangat keras. Aku marah kepada tuanku yang sangat kejam. Tapi tuanku justru mengelus-elus kepalaku. Dia merasa bangga punya anjing piaraan yang telah menyelamatkan hartanya dari jarahan maling malang itu. Aku menggonggong makin keras. Makin keras, hingga orang-orang pun keluar rumah. Mereka mengelu-elukan aku. Hampir tak ada yang peduli dengan mayat maling malang itu yang membujur kaku… Mata maling itu tetap saja melotot, seperti menatapku. Terus menatapku. Aku masih mendengar tangisnya, tangis anak dan istrinya. Tangis itu sangat panjang dan dalam, penuh kesunyian.

 

Yogyakarta 2006

Maaf, Aku Tidak Tahu

Jangan ragu untuk menjawab ‘tidak tahu’. Kalau ingin yang lebih elegan, bisa bilang gini, “Maaf, itu bukan kapasitas saya.”

Saya tidak malu kalau harus bilang tidak tahu. Aku ora ngerti. Sori, aku ora mudheng. Karena Mbah Guru berpesan, “Wong ora mudheng kuwi asline wis nate sinau. Mung wae, durung teka titi wancine ngerti.

Jika kita terlanjur paham bahwa masyarakat ilmiah itu terdiri dari komunitas homogen yang berpredikat ngerti/mudheng, maka sudah selayaknya paradigma itu kita ubah. Karena tidak bisa kita pungkiri, saat ini, di sudut-sudut kampung ilmiah, banyak diisi oleh golongan minoritas yang menghargai ketidaktahuan sebagai proses ilmiah.

Kesimpulannya, kalau merasa benar, belum tentu lebih tinggi predikatnya daripada mereka yang tidak tahu. grin emoticon

Keseimbangan Saat Naik Sepeda

“Nah, sudah sampai, ayo semua turun!” pinta Pak Ngabdul.

Man yang duduk di stang segera bergegas. Ia mencoba menapakkan kakinya ke tanah dengan hati-hati. Wajahnya agak grogi.

Min terlihat lebih tenang. Soalnya ia duduk di jok belakang pit kebo milik bapaknya. Lebih mudah ia menggapai tanah dengan kaki mungilnya. Sejenak kemudian, ia terlihat mengunjukkan kathok. Sambil kakinya meloncat kecil. Adegan yang cukup wajar.

Mereka lalu masuk ke warung tenda di terminal atas Slogohimo.

“Sana, duduk yang kosong sana!” kata Pak Ngabdul sambil menunjuk meja paling depan.

Setelah memesan tiga porsi nasi goreng, kemudian ia kembali mendekati kedua anaknya.

Melihat bapaknya datang lalu bertanya, “Kenapa ya Dhe, kalau sepedanya berjalan, kok tidak ambruk? Padahal kalau berhenti hoyag-hoyig lho. Padahal sudah dipegangi. Apalagi kalau dilepaskan, pasti mak brus!” ekspresi Man semakin mantap dengan gerakan tangan dan badannya yang lemah gemulai.

Dha, dhe, dha, dhe! Karo bapake barang ora sopan!” tukas Min sambil menyodok sikutnya Man.

“Yaa, memang begitu itu,” jawab Pak Ngabdul sembari menata kursi, lalu duduk, “itu sudah hukum alam, Le.” Pak Ngbdul lalu mengelus rambut Man. Mantranya mulai diucapkan. Mantra sakti biar anaknya tak bertanya yang aneh-aneh lagi.

Raut muka Man tidak puas mendengar jawaban itu. Sayang, ia sudah kena ‘bisa’ mantra bapaknya.

Saya yang sedari tadi mengikuti adegan itu ikut prihatin. Jawaban Pak Ngabdul tidak pas. Sungguh beruntung aku bisa mempersiapkan jawaban itu sejak kini.

Pendataan Peserta UN

Pendataan Dikmen sedang ramai dibicarakan. Utamanya oleh operator sekolah, baik SMA maupun SMK. Sisi positif pendataan ini sangat banyak. Pastinya, jika agenda pendataan ini berjalan sukses, peta persebaran Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan akan terlihat dengan jelas. Kebijakan pun dapat diambil dengan tepat.

Sisi negatif dari pendataan ini juga ada. Coba kita ingat kembali Pendataan Dikdas 2012 yang telah dirilis lebih awal daripada Pendataan Dikmen. Banyak sekali Operator Dapodikdas yang berkeluh kesah. Hal ini disebabkan oleh aplikasi Dapodikdas yang dulu memiliki banyak masalah. Belum lagi masalah sinkronisasi yang bersamaan, sehingga menyebabkan server pusat menjadi down. Operator pun sulit melaksanakan tuntutan sinkronisasi data.

Pengertian pendataan sendiri dapat diartikan sebagai pen·da·ta·an n 1 proses, cara, perbuatan mendata; 2 pengumpulan data; pencarian data. Pegertian ini didapatkan dari http://kbbi.web.id/data.

Perlu diketahui pula bahwa kecenderungan masyarakat kita, jika dimintai data pasti berharap ada sesuatu yang akan dibagikan kepadanya. Entah budaya itu warisan dari mana, yang jelas, masyarakat menganggap pendataan diartikan sebagai suatu kegiatan pemetaan. Yang berujung dengan pembagian sesuatu. Bisa uang, sembako, pakaian, santunan, dan kartu jaminan. 😀

Formulir pendataan banyak macamnya. Mulai dari pendataan Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan. Yang saya ketahui banyak, formulir pendataan UN siswa SMK. Ini penting sekali. Sebab, sebelum muncul Daftar Nominasi Sementara (DNS) Peserta UN 2014/2015, formulir pendataan itu digunakan sebagai acuan utama kebenaran data. Kalau sampai ada siswa yang belum mengumpulkan formulir pendataan UN, wah, Operator Dapodikmen pasti kalang kabut.

Info pendataan merupakan kata kunci utama para operator Dapodikdas. Bukan Dapodikmen. Soalnya, situs web resmi Pendataan untuk SD dan SMP namanya Info Pendataan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Alamatnya di dapo.dikdas.kemdikbud.go.id/ , coba saja kalau tidak percaya.

Pendataan Dikdas sudah saya singgung di atas tadi. Jadi, saya kira tidak perlu saya perpanjang lagi. Ini tema yang amat krusial.

Pendataan siswa. Ehm, pendataan siswa ini saya kira masih terlalu umum. Maksudnya, bisa saja kan pedataan siswa ini bertujuan untuk beberapa hal. Coba kita urutkan sejak awal: pendataan siswa baru, pendataan siswa peserta MOS, pendataan siswa peserta ekstrakurikuler, pendataan siswa peserta Ujian Mid Semester Gasal, pendataan siswa peserta Ujian Semester Gasal, pendataan siswa peserta Ujian Mid Semester Genap, pendataan siswa peserta Ujian Semester Genap, baru kemudian Pendataan siswa peserta Ujian Nasional. Nah, banyak sekali, kan? Mau pilih yang mana sekarang? Yang jelas dong kalau jadi orang. Kalau kebanyakan gini kan saya yang jadi bingung.

Akhirnya, informasi yang sangat mengejutkan adalah: Pendataan UN Tahun Pelajaran 2014/2015 berakhir pada tanggal 31 Desember 2014.

Menulis Cerpen

Menulis cerpen mulai dilakukan di Indonesia sejak tahun 1930. Kalau saya, menulis cerpen pertama kali waktu masih duduk di bangku SMP. Saya ingat betul waktu itu saya menulis cerpen dengan suka cita. Sayang sekali, saya lupa cerpennya berjudul apa.

Menulis cerpen ada aturannya. Aturan utamanya adalah: pernah membaca cerpen. Kalau belum memenuhi syarat utama tersebut, silakan baca dulu salah satu contoh cerpen berikut ini: Tani Sakti.

Aturan berikutnya adalah, mengetahui alur cerita. Setiap cerita biasanya punya alur begini:

  1. perkenalan keadaan;
  2. pertikaian/konflik mulai terjadi;
  3. konflik menjadi makin rumit;
  4. klimaks;
  5. peleraian/solusi/penyelesaian.

Biar menulis cerpen lebih mudah, penokohannya juga harus diperhatikan. Penokohan atau perwatakan berarti sebuah lukisan seorang tokoh cerita. Bisa diambil dari keadaan lahir atau batinnya. Boleh juga dari keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadatnya, dan sebagainya. Silakan digambarkan langsung atau tidak langsung.

Tidak kalah penting adalah aturan tentang latar. Ada latar tempat, waktu, dan suasana.

Menulis cerpen tidak boleh asal-asalan. Paling tidak ada nilai moral atau nilai keagamaan yang mau disampaikan.

Realitas yang Pahit

Pahit, sungguh pahit.

Ketika itu, anak-anak sedang bermain di taman. Lalu aku menyuruh mereka memasuki ruangan, “Ayo anak-anak, masuk kelas! Kita dikejar target,” aku melihat jelas raut muka kekecewaan di wajah mereka. Tapi kalimat perintahku belum bisa berhenti, “ayo, agak cepat! Hari ini kita menyocokkan PR yang kemarin!”

Lega rasanya satu per satu dari mereka mau mengikuti perintahku. Kami pun memulai ritual belajar mengajar seperti sedia kala.

“Baik, soal nomor satu, ya. Terdapat 5 lampu masing-masing 10 Watt, menyala 1 jam setiap hari, hitung biaya yang harus dibayar dalam satu bulan, jika biaya per kWh Rp 100,00!”

Tak kusangka ada seorang siswa yang mengangkat tangannya, “Pak, mohon maaf,”

“Iya, Min, ada apa?”

“Kata ayah saya, nanti kalau sudah besar, kita bertemu banyak pertanyaan tentang biaya,”

“Maksudmu bagaimana?”

Mbok ya kita di kasih bocoran pertanyaan-pertanyaan tentang biaya yang benar-benar akan kita temui,”

“Bisakah kamu memberikan satu contoh? Pasti kamu sudah dapat bocoran dari ayahmu, kan?”

Min membuka tasnya. Terlihat ia mencari sesuatu. Setelah ketemu, lalu ia mengambilnya, “Ini, Pak. Sudah ketemu,” ia menunjukkan secarik kertas, lalu membaca tulisannya, “Bagaimana caranya memutar uang satu juta?”

Kemudian ia menegaskan lagi. Bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang sering ditemui orang dewasa.