Dunia Online Tak Kenal Tanggalan

Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Hari ini ada tonggak sejarah baru tertancap di lingkungan kerjaku. Pencerahan dari Sang Maha Kuasa muncul begitu saja tanpa kami memintanya. Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Media online yang dulu dianggap dewa penolong dalam penyaluran segala macam informasi, kini berbalik menjadi hal yang ditakuti. Ada suatu pola pemanfaatan media sebagai ajang penjatuhan nama baik. Tak tahu siapa yang paling diuntungkan, yang jelas, ada suatu keuntungan yang didapat sesaat setelah menulis berita secara online.

Berawal dari kejadian kriminal yang kebetulan menyangkut nama institusi kami, akhirnya muncullah beberapa berita yang hingga kini kami nilai mencoreng nama baik. Berita yang semestinya sudah kadaluwarsa, muncul kembali begitu saja. Dan dapat kami pastikan akan meracuni siapa saja.

Kalau begini aturannya, menulis berita tak perlu pakai tanggalan lagi. Berita lama yang menyakitkan tetap bisa meracuni siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Sinkronisasi Cipta, Rasa, dan Karsa

Tridaya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tiga kekuatan yang perlu dimaksimalkan agar hidup kita bahagia. Hehehe…

Cipta, rasa, dan karsa. Penalaran, penghayatan, dan pengamalan.

Baru-baru ini saya sadari bahwa tiap-tiap komponen tridaya itu dimaksimalkan dengan cara belajar. Kalau seseorang punya keseimbangan cipta, rasa, dan karsa; maka dikatakan sudah dewasa.

Bayi yang baru lahir, sudah punya tridaya. Tapi saya yakin, ia belum bisa menalar. Kalau boleh saya bilang, penghayatan akan rasa laparnya langsung diamalkan dengan kegiatan menangis. Apapun yang ia hayati, pengamalannya adalah menangis. Sungguh tragis. Hehehe…

Lalu ia beranjak besar. Biasanya dilantunkan sebuah lagu pengantar tidur. Ada juga yang diajak putar-putar naik sepeda motor. Ini yang lagi nge-tren.

Ada satu pengalaman yang membuat saya terusik. Hehehe…

Ceritanya, waktu masih kecil, sebelum saya tidur, dilantunkanlah lagu Pamit Mulih oleh ibu saya. Lagu keroncong ini dilantunkan oleh Mbah Gesang. Begini lirik lagunya:

Lilanana pamit mulih
Pesthi kula yen dede jodhone
Mugi enggal antuk sulih
Wong kang bisa ngladeni slirane

Pancen abot jroning ati
Ninggal ndika wong sing tak tresnani
Nanging badhe kados pundi
Yen kawula sadrema nglampahi

Mung semene atur puji karya raharja
Sak pungkure aja lali asring kirim warta

Eman-eman benjang ndika
Yen ta nganti digawe kuciwa
Batin kula mboten lila
Yen ta nganti mung disiya-siya

Karena waktu itu usia saya baru 5 tahun, mungkin nalar ini sudah mulai berkembang. Namun sayang, perkembangan rasa yang saya miliki tidak sejalan dengan perkembangan nalar. Saya belum bisa menghayati lagu yang saya dengar. Akhirnya, lagu yang seharusnya dihayati sebagai lagu sedih (pamit mulih), eh, malah mendorong saya untuk tidur. Memang sangat jelas, waktu itu kondisi cipta, rasa, dan karsa saya belum seimbang.

Tahun demi tahun, saya disekolahkan. Sampai akhirnya saya bisa berpendapat seperti ini.