TANI SAKTI
Oleh: Dra. Heny Rahayu
NIP 19521025 199512 2 002
Pak Ngabdul masih belum bisa meredam pikirannya pagi ini. Imipiannya tadi malam masih sangat jelas tergambar. Kelihatannya kepingan puzzle idenya hampir ketemu. Ia mengubah posisi duduknya. Yang semula jigang bersandar di tembok depan rumah, kini ia terlihat sila methekel. Kemudian ia menghisap rokoknya lebih dalam daripada sebelumnya.
“Belum berangkat ta, Pak?” suara Bu Sakinah memecah konsentrasi Pak Ngabdul.
“Ah, Bune, Bune. Sukanya kok ngganggu orang sedang bepikir saja!”
“Berpikir terus! Kapan kerjanya?!”
“Kamu ndhak tahu pola pikir saya, Bu. Diam saja!”
“Kalau sudah tani, ya tani saja! Ndhak usah macem-macem, Pak!”
“Nyoba mikir cari kerja lain kan ya boleh ta, Bu. Orang kok pikirannya tidak berkembang.”
“Kerja lain apa? Maling?”
Pak Ngabdul menoleh ke istrinya dengan mata terbelalak. Ia tidak menyangka kalau istrinya berani mengucapkan kalimat semacam itu.
Bu Sakinah kembali ke dapur. Ia kesal dengan tingkah laku suaminya. Akhir-akhir ini omongannya mirip orang berkhayal. Tiap hari yang dibicarakan selalu saja Mas Norman. Pegawai negeri yang sukanya cuma dolan. Meski begitu, mobilnya gonta-ganti terus tiap bulan. Kerja sampingannya ngajak orang-orang kumpul. Mirip seperti rembugan RT itu. Lalu orang-orang daftar pakai uang. Dapat bonus tiap bulan. Tiap tahun uangnya berlipat ganda. Menggunung emas, mirip lautan berlian.
Pak Ngabdul mulai terpengaruh bisnis itu berkat dorongan kuat dari Mas Norman.
“Bu, ini bisnis, lho!” Pak Ngabdul setengah berteriak. Biar istrinya yang di dapur dengar.
“Bisnis?” Bu Sakinah tidak yakin.
“Iya, Bu. Zaman sekarang, petani seperti kita ini harus inovatif, Bu!”
“Inovatif yang bagaimana ta, Pak? Lha wong jenengan saya suruh belajar buat kompos saja tidak mau. Dikasih buku sama Man tentang kremi EM-4 yang menguntungkan juga belum dibaca.”
Pak Ngabdul mendekati istrinya yang sedang isah-isah.
“Pokoknya ini menjanjikan, Bu. Itu baru setahun, lho. Baru satu juta. Coba bayangkan kalau uangnya itu seharga sawah kita?!”
“Pak! Jangan singgung-singgung lagi masalah jual sawah!” Bu Sakinah berhenti mencuci piring.
“Tapi, Bu. Ini demi…”
“Tidak, Pak. Itu satu-satunya warisan dari Mbah Wa Saman.” Tukas Bu Sakinah sambil berdiri, kemudian menata piring-piring yang sudah selesai dicuci.
Merasa diskusinya dengan sang istri tidak menemui jalan keluar, akhirnya Pak Ngabdul berangkat ke sawah. Sepanjang jalan, pikirannya masih terbayang ajakan Mas Norman. “Pokoknya aku harus dapat jalan!” katanya dalam hati. Langkahnya menuju sawah makin cepat.
Sampai di sawah, ia melihat tanaman jagung Pak Wira yang sudah tinggi-tinggi. Jantennya sudah keluar. Luar biasa. Sedangkan miliknya, benihnya saja baru selesai ditanam dua minggu kemarin.
“Piye, Dul?” sapa Pak Wira sedikit mengejek.
“Apanya, Pak?”
“Tanamanmu kok biasa saja? Tidak sebagus tanamanku ini lho. Ini lho, coba kamu lihat,”
“Biar saja. Itu, tanaman saya juga sudah siap dangir kok, Pak,” sambil menunjuk tanamannya yang baru setinggi anak ayam.
“Haha, sudah tanggal segini kok baru dangir,”
“Biar saja. Sebentar lagi saya mau pindah profesi. Saya mau ikut bisnis menjanjikan,” lalu Pak
Ngabdul menuju sawahnya.
Sepulang dari sawah, perbincangan tentang menjual sawah itu kembali terulang. Kali ini Pak Ngabdul lebih ngotot. Pasalnya, nanti jam delapan malam, Mas Norman sudah menunggu keputusannya.
“Jadi orang mbok jangan egois ta, Bu!”
“Kamu itu Pak yang grusa-grusu. Aku ini kurang ngalah gimana coba?”
“Dasar wong wedok tidak tahu diuntung! Goblok!” setelah melemparkan cangkir jembung warna hijau ke lantai, Pak Ngabdul lalu pergi.
Mendengar ucapan suaminya, Bu Sakinah hancur hatinya. Menangis sejadi-jadinya. Ia merasa serba salah. Selama ini ia sudah rela hidup sederhana. Tapi masih saja mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan dari suaminya.
Sampai di rumah Mas Norman, Pak Ngabdul mendapat penguatan lebih hebat dari sebelumnya.
“Sebulan kita bisa dapat sepuluh juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu tujuh ratus lima puluh tujuh rupiah, Pak!” tandas Mas Norman.
“Wah, banyak sekali ya, Mas.”
“Jangan heran dulu, Pak. Ini belum bonusnya.”
“Bonus?”
“Iya. Bonus kesetiaan 5 %. Bonus kerelaan 10 %. Sawah jenengan itu sudah cukup untuk modal awal. Tunggu apa lagi, Pak?”
“Baik, Mas. Tapi…”
“Ya kalau jenengan belum bisa ikut sekarang, biar Mas Sarmo dulu saja. Sawah beliau kemarin sudah ada yang nawar tiga puluh.”
“Satu lagi, Pak. Bisnis ini butuh fokus. Kalau fokus, berhasil. Kalau tidak, ya tidak. Ndhak boleh jadi bisnis sampingan,”
“Lha jenengan kan pokoknya jadi pegawai negeri, Mas?”
“Siapa bilang, Pak. Pegawai negeri itu pekerjaan sampingan saja,” kata Mas Norman yang kemudian tertawa terbahak-bahak.
Pak Ngabdul pasti berhenti berkhayal kalau sudah ingat sawahnya. Malam ini ia kembali pulang dengan beban yang makin banyak. Ia merasa sungkan karena tidak segera memberikan keputusan di hadapan Mas Norman tadi. Padahal menurutnya, Mas Norman itu orang yang baik sekali. Sudah bersusah payah mau memberi jalan untuk mengubah nasib orang kecil. Tanpa meminta imbalan. Apalagi setiap datang ke sana selalu disuguhi rokok samsu dan white coffee. Jarang sekali ada orang sebaik Mas Norman di Dusun Wangun ini.
Tambah lagi, kalau sampai Mas Sarmo yang selama ini terkenal jadi saingan pamor Pak Ngabdul lebih dulu kaya, apa jadinya nanti. Pasti semua orang menganggap remeh pada Pak Ngabdul. Belum lagi masalah orang-orang sedusun Wangun yang sudah tahu kalau Pak Ngabdul mau pindah profesi jadi bisnisman.
Tapi ia juga sadar, istrinya tidak seperti yang diharapkan. Bagaimanapun caranya, istrinya pasti bersikukuh tidak mau menjual sawah warisan itu. Bisa saja Pak Ngabdul diam-diam menjualnya. Tapi, Mbah Wa Saman itu dukun sakti. Pasti arwahnya selalu mengganggu kalau sampai sawah itu dijual. Apalagi tanpa sepengetahuan Bu Sakinah, anak angkatnya.
Sampai di perempatan dekat Kuburan Gedhong, ia berhenti. Ia menguatkan tekadnya untuk matek Aji Sirep Begananda malam ini.
Itu ilmu maling. Ia tidak akan diketahui karena seluruh penghuni rumah terlelap tidur. Ya, para pencuri memiliki ajian ampuh yang bernama Aji Sirep Begananda. Untuk memiliki ajian hebat ini, dulu Pak Ngabdul harus puasa mutih 21 hari atau 40 hari dan meneruskan dengan puasa pati geni 3 hari atau 7 hari, yang dimulai dengan hari Rebo Pon.
Setelah mengambil segenggam tanah kuburan, Pak Ngabdul kembali meneruskan langkahnya. Ia sudah bersiap beraksi malam ini. Mau maling, di rumahnya sendiri!
Di depan rumahnya, Mantra Aji Begananda pun dibacakan:
Hong ingsun amatak ajiku sirep begananda kang ana indrajit, kumelun nglimuti ing mega malang, bul peteng dhedet alimengan upas racun daribesi, pet pepet kemput bawur wora wari aliweran tekane wimasara, kang katempuh jim setan peri prayangan, gandarwa, jalma manungsa tan wurung ambruk lemes wuta tan bisa krekat, blek sek turu kepati saking kersane Allah.
Bu Sakinah yang ada di dalam rumah sejenak kemudian terkena efek mantra itu. Sedari tadi ia menanti suaminya pulang. Tapi kini sudah tak kuat lagi menahan kantuknya. “Le, Man. Kalau sudah selesai belajarnya, terus tidur, ya.”
Tidak terdengar jawaban dari Man, anaknya. Bisa dipastikan ia sudah tidur lebih dulu. Lantas Bu Sakinah pun tertidur di kursi ruang tamu.
Meski masuk rumahnya sendiri, Pak Ngabdul sadar malam ini ia bukan sang empunya rumah itu. Ia resmi disebut maling. Khusus untuk malam ini.
Segera saja ia menuju kamar. Bu Sakinah yang sudah terkena sirep, hanya dilihatnya sekilas. Dalam hatinya ia meminta izin, “Nah, semua ini aku lakukan demi masa depan kita.”
Kotak kayu ukiran itu dibuka. Semerbak wangi kembang melati menyebar ke seluruh sudut kamar. Tangan Pak Ngabdul gemetar. Tapi kata hatinya ia abaikan. Langsung saja ia ambil sertifikat sawah warisan yang jadi bahan perdebatan beberapa hari ini.
Semua isi almari dirasa sudah kembali seperti kondisi semula. Cepat-cepat Pak Ngabdul keluar rumah. Mumpung masih jam sepuluh malam, pasti Mas Norman belum tidur. Begitu pikirnya.
Sebelum menuju ke rumah Mas Norman, di depan rumahnya ia berhenti. Menoleh ke belakang beberapa detik. Senyum keberhasilan yang ia sunggingkan masih mirip seperti beberapa tahun yang lalu. Waktu ia melakukan aksi bejatnya ini di beberapa rumah di kawasan Surakarta.
Di perempatan dekat Kuburan Gedhong, ia kembali terhenti. Secara psikologis ia dipastikan tertekan atas kelakuannya malam ini. Beberapa jam tadi ia berhasil melupakan sumpah janjinya untuk tidak maling lagi. Tapi kini sumpah pocong itu bergema di langit malam Dusun Wangun. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya gemetar. Matanya berkunang-kunang. Keringat dinging keluar dari tubuhnya. Tak mampu lagi ia menopang tubuhnya. Pak Ngabdul ambruk di tengah-tengah perempatan. Membujur ke utara.
Dalam ketidaksadarannya, ia seolah berjalan di hamparan sawah yang tak ada ujungnya. Lama sekali.
Tak disangka, ia berjumpa dengan Mbah Wa Saman.
“Dasar bajingan! Orang tidak tahu diuntung!” tangan Mbah Wa Saman menyasar ke perut Pak Ngabdul.
“Ampun, Mbah Wa. Saya mengaku salah.”
“Saya rela sawah itu dijual. Asalkan untuk kuburanmu! Sisanya, biarkan tetap jadi lahan tanam.”
“Maafkan kelakuan saya, Mbah. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya minta bantuan kepada jenengan, Mbah. Biar saya tidak gegabah lagi,”
“Mintalah bantuan kepada dirimu sendiri! Sudah, pulang sana!”
Adzan Subuh mengembalikan kesadaran Pak Ngabdul. Sertifikat itu masih didekapnya erat. Segera saja ia pulang.
Sampai di rumah, ia melihat istrinya masih tertidur. Man juga belum pindah dari kasurnya. Sadar akan kesalahannya beberapa hari ini, ia berniat memperbaiki diri. Ia pergi ke dapur untuk nggodhog wedang. Semua alat makan ia cuci bersih. Kemudian ia menyeduh kopi.
Dalam kesadarannya, ia mencoba menata kembali kehidupannya yang wajar. Kembali ke pola pikir sederhana tentang jagung, ayam, kambing, sapi, dan tanah. Jagung, jagung, jagung, jadi ayam. Ayam, ayam, ayam, jadi kambing. Kambing, kambing, kambing, jadi sapi. Sapi, sapi, sapi, jadi tanah. Tanah, tanah, tanah, jadi mobil mewah. “Ah, tidak usah” pikirnya, “tanah yang tak berujung itu, akan
kutanami jagung yang lebih banyak lagi.”