“Kenapa ia bisa gila, Pak Kiai?” tanya Pak Ngabdul. Baca Selengkapnya
Month: November 2013
Sekedar Makna
saat saya bimbang tentang makna suatu kata
saat itulah saya merasakan beban yang teramat sangat Baca Selengkapnya
Nampa Rapot
Ana ngarep kelas. Pak Ngabdul bubar nampa rapote putrane. Entuk rengking ngisor dhewe. Banjur duka, “Nek mben semester bijimu kaya ngene, luwih becik kowe golek ijol bapak, Le!”
Tolong-menolong
Memang sudah sepantasnya bahwa tolong-menolong dianggap sebagai perbuatan baik. Tentu saja tolong-menolong dalam kebaikan. Bagaimana tidak, menolong orang lain itu sama halnya mengubah takdir. Takdir orang lain, juga takdir diri sendiri.
“Jangan banyak-banyak ngomongin takdir, Mas,” kata orang di pinggir jalan tadi.
“Masalah? Masalah?!” jawab saya.
“Ya sebenarnya tidak masalah, Mas. Hanya saja kalau semua orang sudah yakin takdir, terus gak mau ngapa-ngapain kan jadi repot,” beliau masih ingin menasihati.
“Masalah? Masalah? Masalah?!!!” jawab saya.
“Ya sebenarnya tidak masalah, Mas. Hanya saja, kalau semua orang sudah yakin takdir, gak ada lagi dong berita-berita mengenaskan di layar televisi,” beliau masih sok tahu. “Gak ada lagi hutang-hutangan berakhir pembunuhan, anak sendiri dicabuli, lebih-lebih, sampai ada oknum polisi menipu petani,” lanjut beliau. “Masalah, Mas?!!!” beliau malah mendahului.
(saya baru mau ngomong lagi malah beliau lanjut lagi), “Meningatkan diri sendiri untuk selalu belajar, berusaha, dan berdoa, itu juga bisa mengubah takdir, Mas.”
Tak lama kemudian beliau dicekal oleh beberapa suster rumah sakit jiwa. Kata salah satu suster, beliau belum tuntas mengikuti program Paket Hemat Setrum Kepala. Seharusnya mendapatkan 6 kali setruman, beliau baru mengikutinya 3 kali.
Ketemu Musuh Jangan Lari
Ndhek wingi bengi, malem Selasa Kliwon.
Nalika iku Pak Ngabdul paring piwulang marang kabeh muride ing padhepokan, “Amung siji welingku. Le, Ngger, putraku kabeh. Musuh jangan dicari. Namun demikian, jika bertemu musuh, janganlah engkau lari.”
Tips Menabung
Seringkali kesulitan menabung bukan karena tidak adanya uang, tetapi lebih tepatnya karena tidak ada lagi sisa penghasilan yang bisa ditabung.
Ubahlah kebiasaan Anda (dan Saya tentunya) dengan membayar tabungan terlebih dahulu sebelum membayar kebutuhan hidup lainnya.
(Tuti Masrihani, 2008:116)
Doa Adikku
Namaku Heri Adhi Nugraha.
Suatu hari, keluargaku menonton film
Film itu mengisahkan kakak beradik.
Mereka terapung dalam sekoci di laut.
Dalam film tersebut, adik berdoa.
“Ya Tuhan, selamatkan kami dari paus.”
“Selamatkanlah kami dari segala bahaya.”
Saat itu, adikku ikut menonton.
Adikku menonton dengan serius.
Film pun selesai.
Adik disuruh tidur oleh ibu.
Adik berdoa menjelang tidur.
“Ya Tuhan, datangkanlah ikan paus.”
“Datangkanlah kerumah kami.”
Aku dan keluargaku kaget.
Sesaat kemudian, keluargaku tertawa.
Adik sedang berdoa. Oleh Nurul Dzakiah.
Disadur dan diubah seperlunya dari: Bobo, Thn. XXXV. 28 Oktober 2007
Tenggang Rasa
Ini ada unen-unen berbahasa Jawa dari Ibu saya:
“tunggal guru aja ngganggu,
tunggal kanca aja nggodha,
tunggal wiyata aja daksiya,”
Tenggang rasa nikmat rasanya. Bisa meringankan beban sesama. Wong sudah tahu sesama kok tidak mau tenggang rasa, lha trus maunya jadi apa?
Mengganggu, menggoda, semena-mena, sama akibatnya. Merenggangkan kedekatan. Mempercepat kehancuran. Memadamkan api persaudaraan. Merobek paseduluran. Mendramatisir keadaan. Merancukan kalimat.
Langsung saja.
Saya dan dia sama-sama berguru kepada Si A. Saya sebut hubungan kami ini sedang sesumber. Satu sumber ilmunya. Nyatanya, sesumber bisa memicu sesumbar. Meski terkesan ngepasne tembung, biarkan saja. Wong nyatanya seperti ini kemampuan menulis saya.
Sesumbar identik dengan mengklaim bahwa dirinya paling amat sangat ter-. Lantas tak segan menyerang teman sesumbernya. Padahal hanya sedikit berlainan sudut pandang.
Saya dan dia sama-sama berteman dengan Si A. Saya sebut hubungan kami ini sedang seteman. Satu yang jadi idola, dua orang penggemarnya. Nyatanya seteman bisa memicu sentimen. Meski terkesan ngepasne tembung lagi, biarkan saja. Tapi kalau ini memang agak mlenceng.
Sentimen identik dengan cari gara-gara. Lantas tak segan menggagalkan rencana teman setemannya. Padahal hanya sedikit berlainan pembagian rejekinya.
Yang kalimat terakhir tidak akan saya buat seperti model di atas . Biar kelihatan agak berbeda. Tapi jelas, kami sedang setempat.
Tunggal wiyata aja daksiya. Sama-sama tempat belajarnya di A, tidak perlu semena-mena.
Suasana tempat belajar menjadi penentu keberhasilan penyerapan ilmu. Orang-orang di sekitar saya tak bagi jadi tiga:
- Lebih tinggi dari saya
- Sama dengan saya
- Lebih rendah dari saya
Daripada semena-mena kepada teman setempat belajar, lebih baik dimanfaatkan saja untuk indikator cuma-cuma. Lihat yang lebih tinggi biar terpacu segera lari. Lihat sesama biar tahu kemampuan saya sampai di mana. Lihat yang lebih rendah biar tidak marah kalau tertimpa musibah.
Nuwun.