Mas, besok pagi jadi jagong jam 10, kan?
SMS itu belum dibalas. Bukannya tidak punya pulsa. Hanya saja Pak Ngabdul belum punya kepastian. Beliau tak pegang uang sama sekali.
***
Jam 08.13 WIB. Saudara ipar yang ngirim SMS tadi sudah sampai di rumah. Pikiran Pak Ngabdul makin amburadul. Untuk menambah keyakinan, baju batik pembelian istrinya sudah beliau kenakan. Kemudian duduk di kursi depan dengan pikiran yang tidak nyaman.
“Ayo berangkat sekarang saja, Mas Ngabdul. Daripada kesiangan,” ajak saudara iparnya.
“Iya, sebentar lagi,” jawab beliau dengan tenang.
Dalam hati, Pak Ngabdul masih berharap ada orang yang mau memberikan kepastian. Tapi tak kunjung datang. Kemudian beliau masuk ke rumah. Menemui Sang Istri tercinta.
“Bu, saya mau keluar sebentar,”
“Mau ke mana ta, Pak?” Sang Istri paham apa yang sedang terjadi.
“Ndak ke mana-mana, kok. Cuma sebentar,”
Satu, dua, sampai tiga rumah beliau lewati. Berharap salah satu pemilik rumah itu ada yang melambaikan tangan. Pertanda mau memberi pinjaman uang.
Harapan kepada manusia sia-sia. Tetap tidak ada kepastian.
Jam 09.05 WIB. Tiba-tiba Pak Ngabdul ingin sekali pergi ke Kantor Kelurahan. Meski hanya Ketua RT, beliau sering diminta untuk menjadi pembaca doa. Orang-orang percaya doa beliau mudah terkabul. Entah apa alasannya. Sejauh yang saya tahu, belum ada dokumentasi tentang doa apa saja yang sudah terkabul berkat dilafalkan oleh Pak Ngabdul.
Menurut saya lafalnya memang mujarab:
“Ya Tuhan, kabulkanlah doa kami, baik yang bisa dilafalkan, maupun yang masih ada dalam pikiran. Sungguh kami menyadari keterbatasan kemampuan kami dalam hal berungkapan. Engkaulah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Mengetahui. Aamiin …”
Sebenarnya beliau sangat-sangat paham. Kalau masih berharap selain kepadaNya, semua jadi tidak pasti.
Benar. Di kelurahan tidak melihat siapa-siapa.
Singkat cerita beliau meninggalkan Kantor Kelurahan dengan kepasrahan yang amat mendalam.
“Pak! Pak Ngabdul! Tunggu sebentar!” teriak Lurah yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Ini buat jenengan, kemarin saya lupa mau memberikan.”
“Matur sembah nuwun, Pak Lurah,” sambil menerima amplop persegi panjang yang agak tebal.
Rapelan honor pelafal doa 750.000 kini ditangan. Sepanjang jalan pulang, Pak Ngabdul hanya bisa senyum-senyum sendirian. Persis seperti wong edan.
Jam 09.58 WIB.
“Mas, ayo! Jadi jagong apa tidak ta ini ?!” tanya saudara iparnya.
“Ayo, lho…” jawab beliau dengan tenang.