Amanat Pembina Upacara Hari Kartini

Sampai pada akhirnya, pola manajemen komunikasi itu membawa Kartini menjadi sosok perempuan yang tiada duanya kala itu.

AMANAT PEMBINA UPACARA pada peringatan Hari Kartini. Disusun oleh Dra. Heny Rahayu.

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
 Yang terhormat, Kepala SMA N 1 Slogohimo, Bapak Singgih Santoso, S.Pd., M.Pd.Si.
 Bapak dan Ibu Guru serta Karyawan SMA N 1 Slogohimo yang kami hormati.
 Serta Anak-anakku kelas X dan XI yang kami banggakan.

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan kepada kita semua, untuk melaksanakan upacara bendera dalam rangka HUT Kartini ke 136 dalam keadaan sehat.

Bapak, Ibu, dan Anak-anakku sekalian.

Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini, Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri. Kemudian menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah (pada saat itu).
Dari sedikit ulasan sejarah Kartini di atas, ada beberapa hal yang patut kita garis bawahi:
1. Kartini berhasil memilih sumber informasi yang ia gunakan sebagai bahan belajar dengan tepat.
2. Kartini berhasil menyerap dan menyaring informasi yang bermanfaat saja.
3. Kartini berhasil mengkomunikasikan kembali dengan baik informasi yang ia dapatkan.

Sebuah pola manajemen komunikasi yang luar biasa. Sampai pada akhirnya, pola manajemen komunikasi itu membawa Kartini menjadi sosok perempuan yang tiada duanya kala itu. Terbukti, ia berhasil meruntuhkan sistem adat yang banyak merugikan perempuan. Juga memperjuangkan kepentingan orang banyak dengan menolak sistem tanam paksa yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat.

Sementara saat ini, di mana status sosial perempuan dan laki-laki sudah setara, hendaknya kita menjaga agar hal ini tetap berjalan dengan baik. Jangan sampai kita sebagai genarasi penerus perjuangan Kartini, malah menurunkan kembali status sosial perempuan dengan tindakan-tindakan kurang baik, yang sayangnya terlanjur menjadi kebiasaan umum.

Salah satu upaya menjaga harmonisasi status sosial adalah memperhatikan manajemen berkomunikasi. Di zaman yang serba online ini, hendaknya kita memastikan diri untuk memahami batasan-batasan tentang hal-hal berikut:
1. Memilih Sumber Informasi
Makin mudahnya informasi tersaji, makin mudah pula informasi yang tidak dapat dipercaya kebenarannya beredar di sekitar kita. Isu-isu yang bernada negatif dengan menyudutkan pihak-pihak tertentu, makin marak bermunculan. Tidak sedikit pula media saat ini menjadi arena unjuk keburukan atas dasar ketidakcocokan antar pribadi atau golongan. Dengan demikian, kita perlu berupaya untuk memilih dengan bijak sumber informasi yang dirasa paling akurat. Tidak ada salahnya kita meng-cross-check kembali informasi yang kita dapatkan dengan cara: mencari sumber lain sebagai bahan pembanding.
2. Menyaring informasi
Banyak informasi yang dapat kita peroleh dengan mudah saat ini. Mulai dari berita politik, humaniora, ekonomi, hiburan, olahraga, gaya hidup, wisata, kesehatan, teknologi, dan juga sains. Dari sekian banyak informasi yang beredar setiap harinya, tentu tidak semua kita butuhkan. Malah makin hari dapat kita cermati informasi-informasi yang cenderung meningkatkan rasa kegelisahan. Hal ini telah menjadi tren saat ini, bad news is a good news. Kabar buruk lebih mudah tersebar. Entah itu berupa fakta, atau hanya sekedar opini belaka. Maka dari itu, memilah/menyaring informasi sebelum kita mengkomunikasikannya kembali adalah hal yang hendaknya kita biasakan mulai saat ini.

3. Mengkomunikasikan Sebuah Informasi
Merebaknya jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, BBM, dsb. membuka ruang yang lebih leluasa dalam mengkomunikasikan kembali sebuah informasi. Tak berhenti pada informasi berbentuk tulisan, gambar pun kini dapat dengan mudah menyampaikan kembali sebuah pesan/informasi.

Dengan hitungan menit, sebuah video dapat kita sebarkan tanpa ia harus lepas dari genggaman. Hal ini mendatangkan manfaat yang luar biasa dalam penyampaian kembali sebuah informasi. Keakuratan informasi dijamin lebih tinggi. Kecepatan tersebarnya pun tak dapat diragukan lagi.

Kita semua berharap, dengan budaya mengomunikasikan kembali informasi secara santun yang dimiliki seluruh warga Indonesia, kecanggihan telekomunikasi itu kita yakini dapat mendatangkan manfaat kepada kita baik kini maupun nanti.

Selamat Hari Kartini.

Semoga semangat Kartini tempo dulu dalam menjaga pola komunikasinya yang santun dan mengutamakan manfaat; dapat kita pegang teguh dan terus kita perjuangkan hingga nanti!

Cukup sekian yang dapat kami sampaikan, apabila banyak kesalahan kami mohon maaf. Akhir kata,

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Sumber:

Bapak Menkominfo Butuh Piknik


http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini

Dunia Itu…

Kata Mbah Kyai, tiada yang lebih nikmat di dunia kecuali tidur.

Bayi nangis kekejer (sangat keras) karena kelaparan. Setelah menunggu beberapa lama, makanan pun datang. Sayang, ia terlanjur ngantuk akibat kelelahan nangis tadi. Dibangunkan dengan cara apa pun, tak mau bangun.

Acara televisi semenarik apa pun, lebih milih tidur kalau sudah ngantuk.

Pengantin baru mana yang bahagia saat malam pertamanya didera ngantuk? Bukankah lebih bahagia kalau tidur saja?

Dan masih banyak lagi.

Mbah Kyai juga menambahkan. Ngantuk yang ditidurkan, layaknya sakit yang terobati. Kebelet buang hajat yang dilanjutkan pergi ke WC, adalah sakit yang terobati. Dan masih banyak lagi.

Jadi, dunia itu bahagia jika penuh sakit yang terobati. Salah kalau kita ndhak mau sakit. Tambah salah kalau kita ingin sakit terus.

Si Pembuat Ketidakadilan Kondisinya Mengenaskan

Barang-barang berbahaya berasal dari ketidakadilan. (Cak Nun)

Prediksi Cak Nun ini bisa berlaku di mana saja. Baik di lingkungan rumah, tempat kerja, negara, bahkan dalam hubungan antar negara. Barang-barang dalam kalimat di atas saya maknai sebagai kumpulan beberapa orang. Eh, bisa juga hanya seseorang ding.

Yang pernah saya temui, si pembuat ketidakadilan biasanya punya cara khusus dalam menanggulangi bahaya dari orang-orang (yang dianggap berbahaya) tadi. Bisa diupayakan dengan pura-pura memberi perhatian lebih, atau sekedar menyodorkan uang tutup mulut.

Sayangnya, upaya penanggulangan itu memunculkan ketidakadilan lain bagi pihak yang sebelumnya tidak berbahaya. Akhirnya, bertambahlah jumlah barang-barang berbahaya di sekitar pembuat ketidakadilan.

Lebih disayangkan lagi yaitu: seorang pembuat ketidakadilan yang belum sadar bahwa sedang banyak barang berbahaya di sekitar dirinya. Dia tetap santai membuat ketidakadilan-ketidakadilan yang makin menjadi-jadi hingga kehancuran menghampirinya.

Dan lebih dari sekedar lebih-disayangkan, si pembuat ketidakadilan ini baru menyadari sepak terjang barang-barang berbahaya ini setelah haknya dalam membuat keadilan dicabut oleh Yang Maha Adil.

Dunia Online Tak Kenal Tanggalan

Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Hari ini ada tonggak sejarah baru tertancap di lingkungan kerjaku. Pencerahan dari Sang Maha Kuasa muncul begitu saja tanpa kami memintanya. Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Media online yang dulu dianggap dewa penolong dalam penyaluran segala macam informasi, kini berbalik menjadi hal yang ditakuti. Ada suatu pola pemanfaatan media sebagai ajang penjatuhan nama baik. Tak tahu siapa yang paling diuntungkan, yang jelas, ada suatu keuntungan yang didapat sesaat setelah menulis berita secara online.

Berawal dari kejadian kriminal yang kebetulan menyangkut nama institusi kami, akhirnya muncullah beberapa berita yang hingga kini kami nilai mencoreng nama baik. Berita yang semestinya sudah kadaluwarsa, muncul kembali begitu saja. Dan dapat kami pastikan akan meracuni siapa saja.

Kalau begini aturannya, menulis berita tak perlu pakai tanggalan lagi. Berita lama yang menyakitkan tetap bisa meracuni siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Aku Wedi Karo Bapakku

Aku wedi karo bapakku wiwit cilik nganti saiki.

Pernah aku ingin mengungkapkan kebosananku kepadanya. Atas kegalakannya. Atas kelebaiannya saat ia mengkhawatirkan keadaanku. Dan masih banyak lagi.

Wis. Aku bosen dadi anakmu, Pak!
_______
Tapi, sebelum semua itu aku lakukan, sudah jelas terbayang betapa mengerikannya hidupku nanti. Ketika beliau berkata duluan, “Aku iki wis luwih dhisik bosen dadi bapakmu, Le! Sakdurunge kowe isa maneni aku kaya ngene iki!”

Enthung

“Enthung, enthung, omahmu ngendi?” dengan nada penuh keingintahuan kita bertanya.

(Beberapa detik kemudian enthung-nya bergerak-gerak seperti terinduksi medan magnet. Lalu menunjuk ke suatu arah)

Tapi, pernahkah kita benar-benar mendatangi rumahnya? Tidakkah kita merasa iba kepada si enthung yang telah bersusah payah menunjukkan tempat asalnya? Lalu kenapa bertanya asal segala? Lantas, kalau sudah seperti ini, siapa yang seharusnya disalahkan?

Tolong, jangan salahkan enthung.

Masyarakat Jawa menyebut kepompong dengan enthung. Jadi, enthung adalah kepompong.

Nongkrong di Jembatan

Jembatan itu dibangun untuk dilewati beban yang berjalan. Kalau tiap sore banyak beban yang nangkring berjam-jam di atas jembatan tanpa bergerak, tidakkah kalian takut kalau…

Kalau nanti gantian jembatannya yang bergerak, biasanya akan lebih mengejutkan.

Kebenaran Sejati

Sutikno pemuda berudheng. Bukan peci, bukan pula kupluk haji. Udhengnya lama tak dicuci. Makin membuatnya terkesan lain dari yang lain. Orang umum bilang kalau Sutikno agak terganggu jiwanya. Gila.

Tapi tidak menurutku.

Waktu itu ia datang nendekat. Menyulut rokok mengais sensasi nikmat. Wajar, hampir tiap saat ia mendengar orang sekitarnya memaki, mengejek, dan menghujat. Dengan senang hati aku persilakan ia untuk sekedar melepas penat.

Tak sekalipun ia menatapku. Malah aku yang memperhatikan gerak-geriknya. Gurat wajah Sutikno yang lebih tua dariku ingin berpesan: jika kamu memohon petunjuk atas jalan lurus kepadaNya, maka bersiaplah. Jangan kau kira lurus itu tak berbelok.

Tersentak sukmaku.

Menunduk wajahku. Kuusap seluruhnya, mulai dahi hingga dagu. Nafas dalam kuhela sejenak. Jari-jemari kujangkarkan di kepala.

Selama ini aku mengira jalan lurus tak berbelok sama sekali. Selalu aku agungkan kebenaran versiku sendiri. Sedang waktu itu, polah tingkah Sutikno menegaskan sebuah pelajaran.

Tiba-tiba ia berdiri. Tangannya bergerak. Lalu ia menggambar sebuah garis yang letaknya jauh di depan sana. “Garis itu bisa dilihat, tapi tak akan mampu direngkuh oleh diri ini,” ia menambahkan lagi, “nggagas merengkuh, ngidak wae ora isa!” tandasnya.

Garis kok apikmen ta, No, Sutikno?” tanyaku.

“Itulah kebenaran sejati.” jawabnya.

Albert Einstein Menembakku

Mak sliyut.

Beberapa detik kesadaranku melayang di atas udara. Terlihat jelas sosok Albert Einstein yang gimbal rambutnya.

Bentuk tangannya mirip seperti tangan-tangan biasanya. Menodongkan pistol tepat di pelipis kiriku.

“Maaf, Mbah. Jangan di situ. Ada jerawatnya,” aku pindahkan ujung pistol itu ke pelipis kananku, “sini saja, Mbah,”

“Jangan bergerak!” teriaknya.

Lha yang bergerak juga siapa?”

“Tembak! Dor!” teriaknya lagi.

“Sudah, Mbah?” tanyaku.

“Belum. Kamu gila!”

“Lho? Kok bisa?”

“Iya. Lha wong kamu mengulang-ulang tindakan yang sama dengan mengharap hasil yang berbeda!” sambil mendorong pistolnya hingga kepalaku goyah dan terbangun.

Turu wae! Bangun!” kata Bapak.