Aku Dewasa (Bukan) di Sekolah

AKU DEWASA (BUKAN) DI SEKOLAH

Oleh: Dra. Heny Rahayu

NIP 19621025 199512 2 002

 

Aku dengar aku lupa

Aku lihat aku ingat

Aku lakukan aku paham

Aku temukan aku kuasai

 

Sajak Confusius pengantar tidurku malam ini

Sayang, ia tak membuatku lelap

Seperti titir kenthogan yang membuat gusar bawah sadarku

Aku terpaksa bangun dengan berjuta pikiran kacauku

 

Pagi buta mataku terbuka

Menyentuh kan jiwaku pada kesunyian yang mulai tipis intensitasnya

Kokok ayam jago tetangga masih jadi isyarat beralihnya malam

Sinar surya menembus ranting dedaunan

 

Aku masih enggan ke sekolah

Trauma mendalam menyelimuti sukmaku

Jika aku ke sana, pasti aku tak dapat apa-apa

Penyesalan selalu tertata rapi dan siap kubawa pulang

Setiap hari

 

Untaian kata Paulo Freire menantang semangatku

Pembangunan tak tercapai dalam kondisi bisu

Apalagi hanya dengan suara semu!

 

Hai sekolah para priyayi!

Hai sekolah, sekolah dengar!

Atas dasar apa kalian gemborkan prestasi?

Sungguh aku takjub atas keluarbiasaanmu!

 

Sungguh aku sangat berdosa

Jika tak mau berbagi,

Kesungguhan dalam menyikapi hal ini,

Kuharap bisa memperbaiki

 

Rangkai ulang

Ungkapkan

Kaji-urai

Simpulkan

dan setiap hari Bertindak

 

Pendiri bangsa ini lahir dari sekolah rakyat

Sekolah biasa

Menjunjung tinggi harkat dan martabat

Harapan pasti ada

Jika semua bekerja sama

 

Tani Sakti

TANI SAKTI

Oleh: Dra. Heny Rahayu

NIP 19521025 199512 2 002

 Pak Ngabdul masih belum bisa meredam pikirannya pagi ini. Imipiannya tadi malam masih sangat jelas tergambar. Kelihatannya kepingan puzzle idenya hampir ketemu. Ia mengubah posisi duduknya. Yang semula jigang bersandar di tembok depan rumah, kini ia terlihat sila methekel. Kemudian ia menghisap rokoknya lebih dalam daripada sebelumnya.

“Belum berangkat ta, Pak?” suara Bu Sakinah memecah konsentrasi Pak Ngabdul.

“Ah, Bune, Bune. Sukanya kok ngganggu orang sedang bepikir saja!”

“Berpikir terus! Kapan kerjanya?!”

“Kamu ndhak tahu pola pikir saya, Bu. Diam saja!”

“Kalau sudah tani, ya tani saja! Ndhak usah macem-macem, Pak!”

Nyoba mikir cari kerja lain kan ya boleh ta, Bu. Orang kok pikirannya tidak berkembang.”

“Kerja lain apa? Maling?”

Pak Ngabdul menoleh ke istrinya dengan mata terbelalak. Ia tidak menyangka kalau istrinya berani mengucapkan kalimat semacam itu.

Bu Sakinah kembali ke dapur. Ia kesal dengan tingkah laku suaminya. Akhir-akhir ini omongannya mirip orang berkhayal. Tiap hari yang dibicarakan selalu saja Mas Norman. Pegawai negeri yang sukanya cuma dolan. Meski begitu, mobilnya gonta-ganti terus tiap bulan. Kerja sampingannya ngajak orang-orang kumpul. Mirip seperti rembugan RT itu. Lalu orang-orang daftar pakai uang. Dapat bonus tiap bulan. Tiap tahun uangnya berlipat ganda. Menggunung emas, mirip lautan berlian.

Pak Ngabdul mulai terpengaruh bisnis itu berkat dorongan kuat dari Mas Norman.

“Bu, ini bisnis, lho!” Pak Ngabdul setengah berteriak. Biar istrinya yang di dapur dengar.

“Bisnis?” Bu Sakinah tidak yakin.

“Iya, Bu. Zaman sekarang, petani seperti kita ini harus inovatif, Bu!”

“Inovatif yang bagaimana ta, Pak? Lha wong jenengan saya suruh belajar buat kompos saja tidak mau. Dikasih buku sama Man tentang kremi EM-4 yang menguntungkan juga belum dibaca.”

Pak Ngabdul mendekati istrinya yang sedang isah-isah.

“Pokoknya ini menjanjikan, Bu. Itu baru setahun, lho. Baru satu juta. Coba bayangkan kalau uangnya itu seharga sawah kita?!”

“Pak! Jangan singgung-singgung lagi masalah jual sawah!” Bu Sakinah berhenti mencuci piring.

“Tapi, Bu. Ini demi…”

“Tidak, Pak. Itu satu-satunya warisan dari Mbah Wa Saman.” Tukas Bu Sakinah sambil berdiri, kemudian menata piring-piring yang sudah selesai dicuci.

Merasa diskusinya dengan sang istri tidak menemui jalan keluar, akhirnya Pak Ngabdul berangkat ke sawah. Sepanjang jalan, pikirannya masih terbayang ajakan Mas Norman. “Pokoknya aku harus dapat jalan!” katanya dalam hati. Langkahnya menuju sawah makin cepat.

Sampai di sawah, ia melihat tanaman jagung Pak Wira yang sudah tinggi-tinggi. Jantennya sudah keluar. Luar biasa. Sedangkan miliknya, benihnya saja baru selesai ditanam dua minggu kemarin.

Piye, Dul?” sapa Pak Wira sedikit mengejek.

“Apanya, Pak?”

“Tanamanmu kok biasa saja? Tidak sebagus tanamanku ini lho. Ini lho, coba kamu lihat,”

“Biar saja. Itu, tanaman saya juga sudah siap dangir kok, Pak,” sambil menunjuk tanamannya yang baru setinggi anak ayam.

“Haha, sudah tanggal segini kok baru dangir,”

“Biar saja. Sebentar lagi saya mau pindah profesi. Saya mau ikut bisnis menjanjikan,” lalu Pak
Ngabdul menuju sawahnya.

Sepulang dari sawah, perbincangan tentang menjual sawah itu kembali terulang. Kali ini Pak Ngabdul lebih ngotot. Pasalnya, nanti jam delapan malam, Mas Norman sudah menunggu keputusannya.

“Jadi orang mbok jangan egois ta, Bu!”

“Kamu itu Pak yang grusa-grusu. Aku ini kurang ngalah gimana coba?”

“Dasar wong wedok tidak tahu diuntung! Goblok!” setelah melemparkan cangkir jembung warna hijau ke lantai, Pak Ngabdul lalu pergi.

Mendengar ucapan suaminya, Bu Sakinah hancur hatinya. Menangis sejadi-jadinya. Ia merasa serba salah. Selama ini ia sudah rela hidup sederhana. Tapi masih saja mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan dari suaminya.

Sampai di rumah Mas Norman, Pak Ngabdul mendapat penguatan lebih hebat dari sebelumnya.

“Sebulan kita bisa dapat sepuluh juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu tujuh ratus lima puluh tujuh rupiah, Pak!” tandas Mas Norman.

“Wah, banyak sekali ya, Mas.”

“Jangan heran dulu, Pak. Ini belum bonusnya.”

“Bonus?”

“Iya. Bonus kesetiaan 5 %. Bonus kerelaan 10 %. Sawah jenengan itu sudah cukup untuk modal awal. Tunggu apa lagi, Pak?”

“Baik, Mas. Tapi…”

“Ya kalau jenengan belum bisa ikut sekarang, biar Mas Sarmo dulu saja. Sawah beliau kemarin sudah ada yang nawar tiga puluh.”

“Satu lagi, Pak. Bisnis ini butuh fokus. Kalau fokus, berhasil. Kalau tidak, ya tidak. Ndhak boleh jadi bisnis sampingan,”

Lha jenengan kan pokoknya jadi pegawai negeri, Mas?”

“Siapa bilang, Pak. Pegawai negeri itu pekerjaan sampingan saja,” kata Mas Norman yang kemudian tertawa terbahak-bahak.

Pak Ngabdul pasti berhenti berkhayal kalau sudah ingat sawahnya. Malam ini ia kembali pulang dengan beban yang makin banyak. Ia merasa sungkan karena tidak segera memberikan keputusan di hadapan Mas Norman tadi. Padahal menurutnya, Mas Norman itu orang yang baik sekali. Sudah bersusah payah mau memberi jalan untuk mengubah nasib orang kecil. Tanpa meminta imbalan. Apalagi setiap datang ke sana selalu disuguhi rokok samsu dan white coffee. Jarang sekali ada orang sebaik Mas Norman di Dusun Wangun ini.

Tambah lagi, kalau sampai Mas Sarmo yang selama ini terkenal jadi saingan pamor Pak Ngabdul lebih dulu kaya, apa jadinya nanti. Pasti semua orang menganggap remeh pada Pak Ngabdul. Belum lagi masalah orang-orang sedusun Wangun yang sudah tahu kalau Pak Ngabdul mau pindah profesi jadi bisnisman.

Tapi ia juga sadar, istrinya tidak seperti yang diharapkan. Bagaimanapun caranya, istrinya pasti bersikukuh tidak mau menjual sawah warisan itu. Bisa saja Pak Ngabdul diam-diam menjualnya. Tapi, Mbah Wa Saman itu dukun sakti. Pasti arwahnya selalu mengganggu kalau sampai sawah itu dijual. Apalagi tanpa sepengetahuan Bu Sakinah, anak angkatnya.

Sampai di perempatan dekat Kuburan Gedhong, ia berhenti. Ia menguatkan tekadnya untuk matek Aji Sirep Begananda malam ini.

Itu ilmu maling. Ia tidak akan diketahui karena seluruh penghuni rumah terlelap tidur. Ya, para pencuri memiliki ajian ampuh yang bernama Aji Sirep Begananda. Untuk memiliki ajian hebat ini, dulu Pak Ngabdul harus puasa mutih 21 hari atau 40 hari dan meneruskan dengan puasa pati geni 3 hari atau 7 hari, yang dimulai dengan hari Rebo Pon.

Setelah mengambil segenggam tanah kuburan, Pak Ngabdul kembali meneruskan langkahnya. Ia sudah bersiap beraksi malam ini. Mau maling, di rumahnya sendiri!

Di depan rumahnya, Mantra Aji Begananda pun dibacakan:

Hong ingsun amatak ajiku sirep begananda kang ana indrajit, kumelun nglimuti ing mega malang, bul peteng dhedet alimengan upas racun daribesi, pet pepet kemput bawur wora wari aliweran tekane wimasara, kang katempuh jim setan peri prayangan, gandarwa, jalma manungsa tan wurung ambruk lemes wuta tan bisa krekat, blek sek turu kepati saking kersane Allah.

Bu Sakinah yang ada di dalam rumah sejenak kemudian terkena efek mantra itu. Sedari tadi ia menanti suaminya pulang. Tapi kini sudah tak kuat lagi menahan kantuknya. “Le, Man. Kalau sudah selesai belajarnya, terus tidur, ya.”

Tidak terdengar jawaban dari Man, anaknya. Bisa dipastikan ia sudah tidur lebih dulu. Lantas Bu Sakinah pun tertidur di kursi ruang tamu.

Meski masuk rumahnya sendiri, Pak Ngabdul sadar malam ini ia bukan sang empunya rumah itu. Ia resmi disebut maling. Khusus untuk malam ini.

Segera saja ia menuju kamar. Bu Sakinah yang sudah terkena sirep, hanya dilihatnya sekilas. Dalam hatinya ia meminta izin, “Nah, semua ini aku lakukan demi masa depan kita.”

Kotak kayu ukiran itu dibuka. Semerbak wangi kembang melati menyebar ke seluruh sudut kamar. Tangan Pak Ngabdul gemetar. Tapi kata hatinya ia abaikan. Langsung saja ia ambil sertifikat sawah warisan yang jadi bahan perdebatan beberapa hari ini.

Semua isi almari dirasa sudah kembali seperti kondisi semula. Cepat-cepat Pak Ngabdul keluar rumah. Mumpung masih jam sepuluh malam, pasti Mas Norman belum tidur. Begitu pikirnya.

Sebelum menuju ke rumah Mas Norman, di depan rumahnya ia berhenti. Menoleh ke belakang beberapa detik. Senyum keberhasilan yang ia sunggingkan masih mirip seperti beberapa tahun yang lalu. Waktu ia melakukan aksi bejatnya ini di beberapa rumah di kawasan Surakarta.

Di perempatan dekat Kuburan Gedhong, ia kembali terhenti. Secara psikologis ia dipastikan tertekan atas kelakuannya malam ini. Beberapa jam tadi ia berhasil melupakan sumpah janjinya untuk tidak maling lagi. Tapi kini sumpah pocong itu bergema di langit malam Dusun Wangun. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya gemetar. Matanya berkunang-kunang. Keringat dinging keluar dari tubuhnya. Tak mampu lagi ia menopang tubuhnya. Pak Ngabdul ambruk di tengah-tengah perempatan. Membujur ke utara.

Dalam ketidaksadarannya, ia seolah berjalan di hamparan sawah yang tak ada ujungnya. Lama sekali.

Tak disangka, ia berjumpa dengan Mbah Wa Saman.

“Dasar bajingan! Orang tidak tahu diuntung!” tangan Mbah Wa Saman menyasar ke perut Pak Ngabdul.

“Ampun, Mbah Wa. Saya mengaku salah.”

“Saya rela sawah itu dijual. Asalkan untuk kuburanmu! Sisanya, biarkan tetap jadi lahan tanam.”

“Maafkan kelakuan saya, Mbah. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya minta bantuan kepada jenengan, Mbah. Biar saya tidak gegabah lagi,”

“Mintalah bantuan kepada dirimu sendiri! Sudah, pulang sana!”

Adzan Subuh mengembalikan kesadaran Pak Ngabdul. Sertifikat itu masih didekapnya erat. Segera saja ia pulang.

Sampai di rumah, ia melihat istrinya masih tertidur. Man juga belum pindah dari kasurnya. Sadar akan kesalahannya beberapa hari ini, ia berniat memperbaiki diri. Ia pergi ke dapur untuk nggodhog wedang. Semua alat makan ia cuci bersih. Kemudian ia menyeduh kopi.

Dalam kesadarannya, ia mencoba menata kembali kehidupannya yang wajar. Kembali ke pola pikir sederhana tentang jagung, ayam, kambing, sapi, dan tanah. Jagung, jagung, jagung, jadi ayam. Ayam, ayam, ayam, jadi kambing. Kambing, kambing, kambing, jadi sapi. Sapi, sapi, sapi, jadi tanah. Tanah, tanah, tanah, jadi mobil mewah. “Ah, tidak usah” pikirnya, “tanah yang tak berujung itu, akan
kutanami jagung yang lebih banyak lagi.”

Gila (tapi suka) Kerja

Gila Kerja mudah dikenali. Kalau sudah bekerja tak mau berhenti. Inginnya semua rampung dalam sehari. Tak memandang kondisi fisiknya yang sudah tidak muda lagi. Katanya, kalau tak kerja, nanti badan sakit semua.

Orang gila, tapi suka bekerja. Lebih baik daripada orang waras yang malas.

Saya mulai curiga, sekarang banyak orang yang suka bekerja tapi malah dilarang oleh orang sekitarnya. Akhir kata, mereka yang aslinya waras itu berdandan seperti orang gila. “Kalau sudah tampil gila, mau ngapain aja tidak ada yang mencela,” tukas salah satu dari mereka.

Sayang, di tivi-tivi, sekolah-sekolah, dan lingkungan bermain saat ini; banyak cita-cita yang menjulang tinggi tentang datangnya uang meski yang berharap itu cuma ongkang-ongkang.

 

7 Keajaiban yang Belum Pernah Terjadi

Tentang judul di atas, jujur saya sampaikan bahwa saya tidak berbohong. Karena keajaiban itu belum terjadi, memang tidak seharusnya saya sampaikan di sini.

Satu hal yang lebih penting, saya baru saja menggagalkan rencana Pak Tarwadi update status. Padahal sudah banyak sekali tulisannya. Tapi apa yang beliau katakan? “Tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya memang tidak diterbitkan,”

Senang sekali jika semua orang bisa begitu. Kalau belum diizinkan terjadi, kenapa harus memaksakan diri?

Orang Pandai Makin Banyak Jumlahnya

Orang pandai makin banyak jumlahnya

Tapi kok hidup makin susah saja

Majunya zaman sangat mengagumkan

Tetapi derita malang melintang

Toga bukan lambang kedewasaan

Pecis tak menandakan kesalehan

Terkenal tidak berarti pakar

Pakar Tidak mesti jiwanya berakar

Gedungnya tinggi kelakuannya rendah

Hartanya mewah pribadinya bubrah

Bukunya bertumpuk jiwa tak matang

Para pemimping kerjanya menyusahkan…

Memusingkan… Merepotkan… Menjengkelkan

 

Lirik oleh Cak Nun

Dilantunkan oleh KiaiKanjeng

Dikutip dari Buku Sekolah Biasa Saja, penulisnya Toto Raharjo, 2014

Apa (itu) Arti Hidup

Rekan-rekan saya, teman dunia maya yang saya hormati.

Perkenankan saya mengucapkan sepatah dua patah kata sebagai wujud apresiasi. Ini erat kaitannya dengan sepak terjang kalian. Khususnya, dalam mempengaruhi kehidupan saya. Perihal menemukan apa itu arti hidup.

Kawan, aku ingat benar waktu itu. Sebelum aku mengenal kalian. Aku selalu kesulitan ketika ditanya apa itu arti hidup. Kadang kala, atau bahkan sering kali hanya kujawab dengan menyebutkan ciri-ciri makhluk hidup.

Tapi semenjak aku mengenal kalian, aku sadar, hidup itu bukan bernapas. Bukan pula makan atau cukup dengan berkembang biak. Satu lagi, salah besar jika hidup hanya diartikan sebatas mengeluarkan zat sisa.

Sungguh, aku sangat berterima kasih kepada kalian. Dengan interaksi yang intens dan terus menerus, akhirnya aku bisa menemukan apa itu arti hidup. Meskipun demikian, aku belum bisa mengungkapkannya sekarang. Entah kapan, aku juga belum mengerti.

Mungkin tak banyak yang dapat aku tuliskan. Jika ada salah kata, mohon dimaafkan. Sekian.

Ilmiah Adalah

Ilmiah adalah bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Kalau tidak percaya, buka saja di sini (http://kbbi.web.id/ilmiah).

Jangan ragu untuk menjawab ‘tidak tahu’. Kalau ingin yang lebih elegan, bisa bilang gini, “Maaf, itu bukan kapasitas saya.”

Saya tidak malu kalau harus bilang tidak tahu. Aku ora ngerti. Sori, aku ora mudheng. Karena Mbah Guru berpesan, “Wong ora mudheng kuwi asline wis nate sinau. Mung wae, durung teka titi wancine ngerti.

Jika kita terlanjur paham bahwa masyarakat ilmiah itu terdiri dari komunitas homogen yang berpredikat ngerti/mudheng, maka sudah selayaknya paradigma itu kita ubah. Karena tidak bisa kita pungkiri, saat ini, di sudut-sudut kampung ilmiah, banyak diisi oleh golongan minoritas yang menghargai ketidaktahuan sebagai proses ilmiah.

Kesimpulannya, kalau merasa benar, belum tentu lebih tinggi predikatnya daripada mereka yang tidak tahu.

Wati Salon #4 (Habis)

Bu Sri miwiti anggone mepe kumbahan. Kelingan yen garwane durung budhal, terus ngendikan rada banter, “Ngenteni apa ta, Pak?!” karo meres kumbahan. Terus dikebutne.

“Ngosik. Nggoleki rek. Mbok deleh ngendi mau?!”

“Enek sandhing kompor!” semaure Bu Sri.

Padha ngertenana ya pra kanca, kompore Bu Sri kuwi yen diceklekne wis ora isa murup dhewe. Kudu diceklekne, terus dicedhaki geni. Lagi isa mak wug!

“Angger njilih kok ora gelem mbalekne!” ngendikane Pak Wira karo nganthongi korek, “Wis, aku budhal sik, Bu!”

Bu Sri rampung olehe mepeni kumbahan. Bar mbalekne ember neng jedhing, kaget merga weruh sepatune Wati gemblethak neng cedhak cendhela sisih njaba, “Pak! Pake! Gusti Allah… Mengko dhisik, aja budhal sik!”

Pak Wira melu kaget. Terus mlayu. Semelang yen bojone kenek apa-apa. “Enek apa, Bu? Enek apa?!”

“Iki lho, coba pirsanana! Sepatune putrimu mbok guwak rene! Tujune ora digondhol ngasu!” Bu Sri semremet.

Pak Wira ora ngendikan apa-apa. Piyambake bingung campur getun. Saya suwe dirasak-rasakne, ana wisikan ghaib kang ngusik isi atine.

Ing atase sepatu kok nganti keri. Iki cetha pratandha kang ora kena disepelekake.

“Bu, coba sepatu gawanen rene! Pasangane sisan!” panjaluke Pak Wira. Terus mlaku nyang teras. Lungguh.

Karo ngelungne sepatu, Bu Sri isih nesu, “Arep mbok kapakne?! Pirang mbara ya ndang di…” durung nganti rampung wis didhisiki Pak Wira.

“Bu, tulung kowe menenga dhisik!”

Bu Sri ndhingkluk. Melu lungguh jejer bojone.

“Bu, coba rungokna. Aku wis nyuwun pirsa bab kedadeyan sepatu sing keri iki. Manut karo apa kang wus dak tampa, dimen kabeh padha rahayu slamet, luwih becik Wati aja disekolahne dhisik. Titik!” karo mbalekne sepatune Wati nyang pangkone Bu Sri.

“Nanging, Pak,” Bu Sri mbrebes. Sepatu didekep.

“Ora susah digetuni, Bu. Yen durung wektune, dikapak-kapakna mung dadi pikiran.”

“Pak…” Bu Sri nggondheli tangane Pak Wira.

“Ora apa-apa, Bu. Sing lila, ya. Iki ya kanggo kabecikane Wati, anake dhewe. Mara gage kana paranana putrimu menyang sekolahan. Matura karo Pak Guru, yen Wati durung tekan wayahe sekolah,” ngendikane Pak Wira iki mungkasi crita kang wus pirang-pirang dina dianti-anti dening para maos.

(Cuthel)

Wati Salon #1

Wati Salon #2

Wati Salon #3

Wati Salon #4 (Habis)

Wati Salon #3

WATI MLAYU NUTUTI KANCA-KANCANE. CAH TELU MAU WIS MLAKU DHISIK. WIS MEH TEKAN NGAREP GERBANG SEKOLAHAN.

ANI
(Mandheg. Noleh mburi)
Ngosik, ta cah. Alon-alon. Wati wis neng mburi kae lho!

ANDI
Halah, wis ben. Tinggal wae! Ngko nek wayahe tekan kene lak ya tekan. (Sedhakep. Sirahe ndhangak. Tetep mlaku)
ANI
Andi ki ra setia kawan!

BUDI
Ngapa ta, kok dha rame?

ANI
Awas kowe, Ndi! Ra tak tiruni PR!

ANDI
Ya aja ngono ta, An. Plis.

ANI
Pokoke!

BUDI
Bocah nek lucu ya ngene iki.

ANI
Kowe ya ra tak tiruni len, Bud!

ANDI
Kapok kowe, Bud!

BUDI
Heh! Ngerti sekolahane wae urung, lho! Kok wis arep tirunan PR!

ANI & ANDI
Oh, iya, ya! Kamu pintar, Bud! (Cah loro njongkongne pundhake Budi)

BUDI
Hmm…

WATI TEKA. MENGGEH-MENGGEH. BAR MLAYU.

WATI
(Isih menggeh-menggeh)
Haduh. Sepurane ya, cah. Aku rada suwi. Mau ngenteni sangu.
(Ngusapi bathuke sing oda enek kringete)

ANI
Oke, Ani. Never mind. Ayo gek mlebu gerbang sekolah. (Ngepuk-puk pundhake Wati. Noleh neng kancane lanang loro mau)
Ayo, cah!

CAH PAPAT TERUS JEJER ANA NGAREP GERBANG. GANDHENGAN. SIAP-SIAP AREP MLUMPAT MLEBU SEKOLAHAN.

WATI, ANI, ANDI, & BUDI
Ayo! Satuuu, duaaa…

DURUNG NGANTI ETUNGAN TIGA, SAKA LANGIT KRUNGU SUARA GEMBLEGER.

PAK WIRA
Tigaaa!!!

BOCAH PAPAT PANDENG-PANDENGAN. TERUS ODA SIDA MLUMPAT. MUNG MLANGKAH MAK THUKLIK. BAR KUWI MLAYU KEWEDEN. MERGA KRUNGU SUARA SING GEMBLEGER MAU.

Wati Salon #1

Wati Salon #2

Wati Salon #3

Wati Salon #4 (Habis)