Janji Palsu

Sepeda yang ia miliki kini sudah menganjak usia empat tahun. Jangka waktu kredit yang cukup lama untuk ukuran orang Indonesia. Meski begitu, Pak Ngabdul tetap bersyukur bisa memiliki sepeda.

Ia sangat sayang dengan sepedanya. Acara apa pun ia datangi bersamanya. Cukup pantas jika ia dibilang sebagai penyayang sepeda. Namun hal ini hanya terlihat empat tahun yang lalu. Waktu sepedanya masih baru.

Lama-lama hal itu memudar. Kalau dulu ia mencuci motornya setiap hari, kini sebulan sekali pun belum pasti. Sepedanya terlihat sangat kotor. Kedua bannya halus. Rantai sepedanya kendor dan berbunyi saat dipakai berjalan. Remnya hampir blong. Lampu sein yang kiri mati. Predikat penyayang sepeda sudah tak melekat lagi padanya.

Entah kenapa, hari ini agaknya berbeda. Pagi-pagi ia sudah berkata dalam hati. Ingin sekali ia mencuci sepedanya. Oh, mungkin hari ini ia sedang libur kerja. Makanya punya niat seperti itu.

Kegiatan rutinitasnya pun ia mulai. Sejak pukul 7 pagi, ia sudah membersihkan halaman. Menyusul kemudian menata beberapa buku yang berserakan di ruang tamu. Sampai pukul 11 siang, ia tak kunjung memulai rencananya mencuci sepeda.

Hingga akhirnya, senja pun tiba. Ia baru teringat kalau selepas magrib ada undangan. Lalu ia bergegas dandan, kemudian berangkat mendatangi acara kondangan di rumah Pak Lurah.

Tak disangka sebelumnya, saat hendak berbelok ke kiri, jagrak sepeda motornya menyangkut aspal. Ia terpelanting ke arah kanan. Jatuh tersungkur membujur.

Helm yang ia kenakan menggelinding hingga beberapa meter jauhnya.

Kabel remnya putus. Kedua ban sepeda motornya robek. Hingga terlihat kawatnya.

Ia merasa kesakitan bukan main. Ia berteriak kesakitan. Tapi teriakannya itu tak didengar oleh seorang pun. Beberapa kali ia mencoba bangkit, tapi tak bisa. Kesadarannya pun hilang.

Beberapa menit kemudian ia terlihat dikerumuni orang. Banyak sekali.

Ia kembali sadar. Saat orang-orang mencoba mengangkatnya ke pinggir jalan, ia menolak. Katanya ingin sekali melihat kondisi sepedanya.

Sepeda yang masih tergeletak itu memaki dirinya sendiri. Beribu perasaan bercampur menjadi satu. Ia kesal kepada juragannya. Bisanya cuma berjanji. Tak pernah ditepati.

Tapi ia juga kecewa telah membuat juragannya jatuh.

Seolah mengerti dengan apa yang dirasakan sepedanya, Pak Ngabdul lalu berlutut di hadapan sepeda itu. Ia sangat merasa bersalah telah membuat janji yang tak ditepati. Apalagi berjanji dengan benda mati.

Ia kemudian berucap dalam hati. Berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

(Janji lagi?)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.