Kumis yang ia dambakan kini terwujud sudah. Setelah beberapa bulan menanti, kini panjangnya sudah mencapai 3 inchi. Cukup panjang untuk ukuran kumis pria normal di desa sini.
Meski belum bisa menyaingi kumisnya Mbah Fu Manchu, tapi Pak Wira cukup terlihat wagu.
Kali ini usahanya terbilang berhasil. Pasalnya, sudah berulang kali ia mencoba memanjangkan kumis. Tapi selalu gagal. Terakhir kalinya, seingat saya, ia gagal karena hal yang cukup sepele.
Setahun yang lalu, kumis Pak Wira sudah mencapai 1,5 inchi. Wati, yang saat itu masih berusia 5 tahun sedang ada di pangkuannya. Pagi yang cerah membuatnya ingin berjalan-jalan sambil mengajak Wati. Sampai di depan rumah Mbah Cip, Wati menangis. Dokar milik Mbah Cip yang waktu itu belum dijual telah merampas semua perhatian Wati.
Mampirlah Pak Wira ddan Wati di rumah Mbah Cip.
Setelah mendudukkan Wati di atas dokar, lantas Pak Wira jagongan dengan yang punya rumah. Obrolan makin asyik ketika sepe goreng dihidangkan oleh Mbah Yem.
Tersingkatlah cerita ini.
Sedang enak-enaknya makan sepe goreng, Wati menjerit kesakitan, “Wadhuh, Pakeee Wir! Wiraaa!”
Dengan gragapan Pak Wira mendekati sumber suara. Naluri seorang ayah terlihat jelas saat adegan itu. Tapi, Mbah Cip menghadang langkahnya.
“Aja nyedhak, Wir! Yang njerit tadi bukan Wati!” kata Mbah Cip sambil memegang tangan Pak Wira.
“Pripun ta, Mbah? Lha wong jelas yang duduk di dokar cuma Wati. Nanti kalau kenapa-kenapa, bagaimana horok?” Pak Wira mulai gugup.
“Potong kumismu! Itu satu-satunya cara biar yang menjerit tadi tak kesakitan lagi.”
“Alah yung, biyung… Hubungannya apa, Mbah?” Pak Wira menggerutu.
“Jiwamu merasa kesakitan atas kesombongan yang selama ini bersarang di tiap helai kumismu itu, Wir! Ia tak mampu menjerit sekeras tadi tanpa perantara Wati. Anakmu…”
“Wadhuh, Pakeee Wir! Wiraaa!” Wati menjerit lagi.
“Cepet potong, Wir!”
“Tapi, Mbah…”
“Alah, kesuwen!”
Kres!
(Cuthel)