“Nah, sudah sampai, ayo semua turun!” pinta Pak Ngabdul.
Man yang duduk di stang segera bergegas. Ia mencoba menapakkan kakinya ke tanah dengan hati-hati. Wajahnya agak grogi.
Min terlihat lebih tenang. Soalnya ia duduk di jok belakang pit kebo milik bapaknya. Lebih mudah ia menggapai tanah dengan kaki mungilnya. Sejenak kemudian, ia terlihat mengunjukkan kathok. Sambil kakinya meloncat kecil. Adegan yang cukup wajar.
Mereka lalu masuk ke warung tenda di terminal atas Slogohimo.
“Sana, duduk yang kosong sana!” kata Pak Ngabdul sambil menunjuk meja paling depan.
Setelah memesan tiga porsi nasi goreng, kemudian ia kembali mendekati kedua anaknya.
Melihat bapaknya datang lalu bertanya, “Kenapa ya Dhe, kalau sepedanya berjalan, kok tidak ambruk? Padahal kalau berhenti hoyag-hoyig lho. Padahal sudah dipegangi. Apalagi kalau dilepaskan, pasti mak brus!” ekspresi Man semakin mantap dengan gerakan tangan dan badannya yang lemah gemulai.
“Dha, dhe, dha, dhe! Karo bapake barang ora sopan!” tukas Min sambil menyodok sikutnya Man.
“Yaa, memang begitu itu,” jawab Pak Ngabdul sembari menata kursi, lalu duduk, “itu sudah hukum alam, Le.” Pak Ngbdul lalu mengelus rambut Man. Mantranya mulai diucapkan. Mantra sakti biar anaknya tak bertanya yang aneh-aneh lagi.
Raut muka Man tidak puas mendengar jawaban itu. Sayang, ia sudah kena ‘bisa’ mantra bapaknya.
Saya yang sedari tadi mengikuti adegan itu ikut prihatin. Jawaban Pak Ngabdul tidak pas. Sungguh beruntung aku bisa mempersiapkan jawaban itu sejak kini.