Kepandaian itu wajib diusahakan dan dimiliki. Tapi setelah nanti kesampaian, kepandaian harus bisa membawa diri menuju kearifan.
Begitu kata Pak Ngabdul. Siapa sangka orang semacam itu adalah lurah. Bagaimana kisahnya? Simak liputan berikut ini:
Meski hanya lulusan SMA, akhirnya beliau ya cuma jadi kuli bangunan. Eits, tapi jangan salah. Beberapa hari setelah pengumuman lowongan lurah baru, beliau segera mencalonkan diri. Modalnya cuma melek wengi.
Rajin melek wengi, ngobrol ke sana ke mari, akhirnya bertemu beberapa sosok yang berperan penting di lingkungan desanya. Khususnya dalam ajang pemilihan lurah baru. Dengan sikap terbukanya, meski tanpa ada rencana, singkat cerita Pak Ngabdul mendapatkan berbagai macam pencerahan dan kemudahan. Hingga akhirnya membawanya melenggang ke kursi lurah yang kini beliau duduki.
Meski menguasai integral, limit, dan matriks; kalau ujian jadi lurah cuma konversi satuan dari dm ke cm, ya percuma belajar berlebihan. Apalagi sampai mengunggul-unggulkan kemampuan. Ini salah satu manfaat melek wengi, kata beliau. Pengetahuan yang tinggi wajib dimiliki, tapi penggunaannya juga wajib diarahkan menuju kearifan diri.
Dilihat sepintas, beliau biasa-biasa saja. Apalagi kalau ngobrol sama orang yang baru dikenal. Soalnya beliau benar-benar tahu kapan harus berbicara dengan kosa kata ngeri bernada tinggi, dan kapan harus berbicara singkat, padat, lan jelas. Kalau sama orang yang baru dikenal, ya, secukupnya saja bicaranya. Sedangkan untuk para sahabat, bisa dikatakan beliau adalah navigator bagi orang yang sedang kebingungan. Bisa juga menjadi katalisator penemuan jati diri para pemuda. Hehehe…
Sebelum jadi lurah, beliau pernah tinggal di kawasan mengerikan. Tempat para wanita penghibur bersemayam. Bukannya ikut-ikutan edan, tapi ini jadi pengalaman. Akhirnya beliau berkesimpulan, kumpul dengan siapa pun, asal bisa ngambil pelajaran, ya itu termasuk pilihan jitu.
Yang jelas, keseimbangan antara sikap tegas, jujur, bijaksana, dan menerima pendapat orang lain, benar-benar dimiliki oleh beliau. Berpikir rasional dan realistis selalu mendasari langkah beliau. Misalnya dalam kegiatan membersihkan lingkungan. Beliau mula-mula datang ke tempat yang ditumbuhi rumput dan dianggap kurang enak dipandang. Beliau hanya duduk-duduk di sekitar tempat itu. Sekali, dua kali, sampai tiga kali tak ada warga yang menggubris. Artinya, memang kesadaran belum ada. Akhirnya beliau sendiri yang mempelopori pembersihan tempat itu. Karena merasa pekewuh, warga akhirnya ikut-ikutan.
Apa beliau mudah ditipu? Tidak. Berprasangka buruk kepada orang asing, beliau punya. Tak cukup hanya berprasangka, penyelidikan terhadap identitas orang yang mencurigakan pun segera dilakukan. Pak Ngabdul tercatat pernah menyelamatkan uang negara yang hampir diambil secara halus oleh penipu berkedok wartawan profesional.