Saya habis potong rambut. Bukan di tempat biasanya. Ini terjadi karena saya keceplosan memuji model rambut seorang teman. Akhirnya, secara suka rela ia mengajak saya ke tukang pangkas rambut yang biasa ia datangi. Jujur saja, akhir ceritanya nanti, saya berhasil potong rambut dengan embel-embel gratis.
Tapi di balik gratisan itu, banyak hal menarik yang bisa saya ceritakan. Mulai dari tempat potong rambut yang tidak permanen, sampai rayuan maut si tukang pangkas rambut.
Langsung setelah pujian saya tadi terlontar, ia mengajak menuju tempat itu. Tepat di sebelah barat terminal bus. Hanya kios sederhana. Beratapkan seng, berdinding kain warnanya hijau muda. Tulisan di kain hijau itu warnanya merah. Resmi kelihatan tempat cukur ndeso. Papan nama 50 x 50 cm terpasang agak miring. Menambah kegelisahan.
Untung saja tidak pakai antri. Tapi ini makin membuat saya gelisah. Jangan-jangan saya diantar ke tempat potong rambut yang salah.
Singkat cerita, ternyata si tukang pangkas rambut ini asli Jakarta. Pernah kursus sama hairstylist ternama di Indonesia. Sayang, ijazahnya ikut terbakar saat tragedi 1998. Saya yakin dengan pengakuannya.
Beberapa kata mutiara darinya adalah:
- Mas, motong rambut itu tidak seperti motong kertas. Rambut itu bisa tumbuh, Mas. Saya bisa memprediksikan bentuk rambut sampeyan 3 hari ke depan. Ini yang membedakan saya dengan tukang potong rambut yang lain.
- Mas, saya ingat betul pesan guru saya. Lebih baik pelan-pelan tapi pelanggan puas, daripada kejar setoran tapi esok hari gak ada yang datang lagi.
- Mas, rambutmu empuk. Ini pakai minyak yang 4 ribuan, ya? Saya jualan minyak yang 12 ribuan. Kalau Mas mau, besok saya bawakan.
- Mas, kalau pakai minyak rambut saya yang 12 ribuan, nanti pas tua gak tumbuh uban.
- Mas, lekukan di dahi seperti ini jarang yang punya, lho.
- Mas, sayang sekali. Potongan rambut sampeyan yang sebelumnya ini tidak teratur. Untuk kesempatan ini, saya betulkan dulu saja, ya. Kalau nanti ke sini lagi, Mas baru bisa minta model.
- Tapi harus rutin. Kalau setelah dari sini sampeyan ke tempat potong rambut yang lain, ya saya harus mengulangi lagi perbaikannya. Baru nanti sampeyan bisa minta dipangkas model apa pun.
- Meski saya yakin akan ke-profesionalan saya, tapi saya tetap tahu diri, Mas. Itu, lihat saja papan namanya. Saya cuma nulis Tukang Potong Rambut Theo (namanya). Sebenarnya, kalau nanti tempatnya sudah permanen, saya mau pasang papan nama Bengkel Ganteng.
Saya sadar kalau sedang dirayu. Tapi hasil pangkas yang memuaskan, menghapus segala kecurigaan. Terlebih lagi, untuk hasil yang sebagus ini, saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Saya ikhlas mendengarkan rayuan Si Tukang Pangkas Rambut. Menurut saya, ia salah satu dari sekian banyak tokoh yang sebenarnya masih bisa dibanggakan di negeri ini. Hehehe…
Pangkas rambut dan potong rambut itu menurut saya sama saja.