Nulis Terus, Terus Nulis

Beberapa hari ini aku tidak bisa menangkap wangsit. Makan saja tidak enak, semua benda yang kutemui rasanya kuanggap pahit. Sudah nyoba berulang-kali komat-kamit. Bekas luka itu masih saja terasa sakit.

Memang tidak terlalu keras pukulan itu. Tapi berhasil membuat jari-jemariku kaku. Stabilitas pikiranku mulai terganggu. Sebenarnya kalimat itu bernada wagu, menurutku:

Bagaimana bisa dipercaya segala omonganmu, lha wong kamu saja belum nikah. Belum merasakan getirnya kehidupan. Juga belum nyicipi manisnya dunia sejati.

Alon-alon Waton Kelakon

Alon-alon waton kelakon (AWK). Pelan-pelan saja, yang penting tercapai apa yang terlanjur jadi rencana.

Yang di atas itu makna umum. Biasa disampaikan kepada orang yang sekedar ingin mengerti alih bahasa. Dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia Tanah Airku yang Tercinta ini.

Setelah saya merenung tentang AWK, hasilnya ada dua. Kata kunci perbedaannya terletak pada gambaran strategi pencapaian tujuan.

Pertama, para pengguna AWK ini menegaskan kepada dirinya sendiri tentang arti kewaspadaan. Kewaspadaan menjadi hal yang teramat sangat penting bagi mereka. Pengguna yang pertama ini sejatinya sudah punya gambaran  tentang strategi pencapaian tujuan. Bukan sekedar jelas, tapi juga punya tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. Akan tetapi, tingkat kewaspadaan yang berlebihan ini menyebabkan pencapaian tujuan-tujuan mereka terkesan pelan.

Kedua, pengguna AWK yang sebenarnya pantas disebut pemalas. Tidak punya gambaran jelas. Mereka hanya mengalir bagaikan air di dalam gelas yang tiba-tiba saja tumpah. Tumpah karena gelas yang ambruk. Ambruk karena hempasan air sisa cucian. Sebenarnya mereka  sudah tidak pantas dikatakan mengalir. Lebih tepat dikatakan dialirkan. Dialirkan oleh orang lain disekitarnya. Karena kecanduan dengan ketergantungan, mereka pelan-pelan menanti hempasan. Kalau hempasan itu dengan suka rela memberikan bantuan atas ketercapaian rencana yang terlanjur mereka susun, saat inilah dimaknai oleh pengguna kedua sebagai arti kelakon.

Akhirnya, AWK akan lebih bermanfaat jika disandingkan/digunakan bersama dengan: Alon-alon sing penting rikat gek ndang gelis tekan ngenggon.

Bukan Sekedar Mesem

Eseman Pak Ngabdul tidak semata-mata ditujukkan untuk mesem. Eseman beliau memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekedar melebarkan ukuran bibir dan memperlihatkan gigi yang tinggal beberapa gelintir. Beliau tidak sekedar mengharapkan perhatian dari orang per orang yang kebetulan ditemui.

Lebih dari itu semua, kebiasaan mesem yang dilakukan oleh Pak Ngabdul bertujuan untuk mengembangkan jiwa, memperluas relasi, dan membentuk kepribadian. Itu artinya, mesem menjadi bagian dari kegiatan pengembangan diri Pak Ngabdul.

Sabar, Dul!

Mas, besok pagi jadi jagong jam 10, kan?

SMS itu belum dibalas. Bukannya tidak punya pulsa. Hanya saja Pak Ngabdul belum punya kepastian. Beliau tak pegang uang sama sekali.

***

Jam 08.13 WIB. Saudara ipar yang ngirim SMS tadi sudah sampai di rumah. Pikiran Pak Ngabdul makin amburadul. Untuk menambah keyakinan, baju batik pembelian istrinya sudah beliau kenakan. Kemudian duduk di kursi depan dengan pikiran yang tidak nyaman.

“Ayo berangkat sekarang saja, Mas Ngabdul. Daripada kesiangan,” ajak saudara iparnya.

“Iya, sebentar lagi,” jawab beliau dengan tenang.

Dalam hati, Pak Ngabdul masih berharap ada orang yang mau memberikan kepastian. Tapi tak kunjung datang. Kemudian beliau masuk ke rumah. Menemui Sang Istri tercinta.

“Bu, saya mau keluar sebentar,”

“Mau ke mana ta, Pak?” Sang Istri paham apa yang sedang terjadi.

Ndak ke mana-mana, kok. Cuma sebentar,”

Satu, dua, sampai tiga rumah beliau lewati. Berharap salah satu pemilik rumah itu ada yang melambaikan tangan. Pertanda mau memberi pinjaman uang.

Harapan kepada manusia sia-sia. Tetap tidak ada kepastian.

Jam 09.05 WIB. Tiba-tiba Pak Ngabdul ingin sekali pergi ke Kantor Kelurahan. Meski hanya Ketua RT, beliau sering diminta untuk menjadi pembaca doa. Orang-orang percaya doa beliau mudah terkabul. Entah apa alasannya. Sejauh yang saya tahu, belum ada dokumentasi tentang doa apa saja yang sudah terkabul berkat dilafalkan oleh Pak Ngabdul.

Menurut saya lafalnya memang mujarab:

“Ya Tuhan, kabulkanlah doa kami, baik yang bisa dilafalkan, maupun yang masih ada dalam pikiran. Sungguh kami menyadari keterbatasan kemampuan kami dalam hal berungkapan. Engkaulah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Mengetahui. Aamiin …”

Sebenarnya beliau sangat-sangat paham. Kalau masih berharap selain kepadaNya, semua jadi tidak pasti.

Benar. Di kelurahan tidak melihat siapa-siapa.

Singkat cerita beliau meninggalkan Kantor Kelurahan dengan kepasrahan yang amat mendalam.

“Pak! Pak Ngabdul! Tunggu sebentar!” teriak Lurah yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Ini buat jenengan, kemarin saya lupa mau memberikan.”

Matur sembah nuwun, Pak Lurah,” sambil menerima amplop persegi panjang yang agak tebal.

Rapelan honor pelafal doa 750.000 kini ditangan. Sepanjang jalan pulang, Pak Ngabdul hanya bisa senyum-senyum sendirian. Persis seperti wong edan.

Jam 09.58 WIB.

“Mas, ayo! Jadi jagong apa tidak ta ini ?!” tanya saudara iparnya.

“Ayo, lho…” jawab beliau dengan tenang.

Serahkan Kepada Ahlinya

Dulur-dulur, mumpung lagi udan. Mumpung aku ra enek gaweyan, tak critani. Panjenengan kabeh lak wis ngerti sada to? Tibake, sada kuwi enek loro, sada lanang karo sada wadon. Aja nganti kleru milih.

Yen kira-kira ora isa milih endi sing lanang, endi sing wadon, pasrahna kancane wae. Aja nganti nekat. Apa meneh mung merga kejar setoran. Nek isih tetep nekat, kabeh urusan isa dadi gaswat.

Lugasnya begini. Kalau cuma mau cari masalah, tidak perlu susah-susah. Hampir tiap hari kita dikasih tahu masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh negeri ini. Baik melalui televisi maupun media informasi terkini.

Saking banyaknya masalah, tujuan mereka memunculkan masalah itu makin tidak jelas. Sebenarnya mereka itu sekedar memberi tahu, atau minta kepada kita biar ikut memberi solusi, atau mendorong kita untuk memperbesar masalah?

Kemungkinan yang terakhir itulah yang lebih pas. Setelah dikasih tahu berbagai masalah yang tidak sepadan dengan kemampuan kita, berusahalah kita mencari solusi (dengan nekat).

Ketemukah kita dengan solusi? Tidak.

Masalah baru mulai berdatangan. Salah paham, apatis, menyalahkan pihak yang tidak jelas, membenarkan pihak yang seolah-olah jelas, sampai-sampai membenci diri sendiri (karena merasa menyesal hidup di negeri ini).

Akhirnya, saya kira lebih nyaman kalau kita menyerahkan segalanya sesuatu kepada ahlinya. Kalau merasa ahli, ya silakan…

Sepatu Kulit, Eh, Karet

Ketemu Pak Ngabdul pas pakai sepatu karet. Model sepatunya keren. Pantofel, khas sepatu kulit Magetan.
“Thik sae timen sepatu jenengan, Pak,” aku basa-basi.
Beliau menjawab, “Penak athik, Mas. Empuk gek anget,”
“Regine pinten?”
“Alah murah. Telung puluh ewu,” Gayanya sok banyak uang.
“Tumbase pundi? Peken mriku enten?”
“Alah enek, Mas,” jawab beliau sambil berlalu.

Jagan-jagan

“Le, iki Mamak tuku kendhil. Dinggo jagan-jagan nek pulsane Mamak entek, kenek nggo miskol Bapakmu!” kata Mamak, garwane Pak Ngabdul.

Si Bungsu menggerutu, “Oalah, Mamak ki mbok sisan tuku genthong. Ngirit olehku bengak-bengok. Nek nganggo genthong, ra mung trima miskol, Mak. Pisan mbengok, alarm-e Bapak isa sisan muni.”

“Ngertia, Le. Bapakmu eneng paran kana panganane mung sithik. Mulane aku tuku kendhil. Ora liya ya genthong ning luwih cilik.”

Ayo Bangkit!

Saudara-saudaraku sebangsa setanah wutah rah!
Ayo kita bang kit kan semangat nasionalisme! Kobarkan daya juang meraih jati diri bangsa yang sedang tersembunyi! Tumpas habis masalah sampai ke akar-akarnya!
Memperbesar masalah sepele adalah masalah besar yang sedang disepelekan oleh bangsa ini. Salam!

Memilih Semua Pilihan

Hidup adalah pilihan. Suatu saat tak ada pilihan lagi kecuali mati.

Ada yang pernah bilang tentang masalah mati ini. Yang penting bukan kapan matinya, tetapi bagaimana caranya mati.

Sama kalau begitu. Yang penting bukan kapan milihnya, tetapi bagaimana caranya milih. Berkaitan dengan cara memilih, ambil saja semua pilihan yang ada termasuk salah satu jawaban dari pertanyaan: bagaimana caranya milih?

Bukan Makna Takdir yang Sebenarnya

Dalam catatan perjalanannya, Pak Ngabdul pernah menjadi workaholic. Pekerja keras tak kenal lelah. Berkarakter kuat dalam usaha pencapaian kesuksesan. Sebagian orang berpendapat bahwa Pak Ngabdul tak percaya takdir. Merencanakan segalanya mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasinya. Percaya benar dengan slogan: Jika kau gagal merencanakan, artinya engkau telah merencanakan kegagalan.

Lambat laun bukannya makin kuat keworkaholickan beliau, tetapi sediki demi sedikit menghilang. Ini berkat jasa cicak di dinding yang tak lagi terlihat menangkap nyamuk. Anehnya, ia masih tetap menjatuhkan kotorannya di peralatan-peralatan penting milik Pak Ngabdul.

“Betapa bodohnya aku ini. Menganggap segalanya atas kehendakku. Cicak pun dipelihara olehNya. Buat apa aku bekerja keras merencanakan segala sesuatu?” gumam beliau.

Kini resmi beliau menjadi seorang pendiam. Tak suka berencana. Mengandalkan takdir Tuhan. Slogan yang beliau anut: Segalanya sudah diskenariokan. Rejeki, jodoh, dan mati pun tak perlu lagi aku pikirkan.

Aku menunggu untuk diperjalankan. Aku menanti hingga diperankan. Hidupku sudah cukup lumrah jika aku habiskan untuk menerima kenyataan.

***

Bukan ketenangan yang beliau dapatkan, tetapi segala aspek hidupnya menjadi berantakan. Hubungan beliau dengan Tuhan tak lagi diperbuat meski keyakinan akan takdir begitu melekat. Hubungan sosialnya berkembang pesat, tetapi yang beliau rasakan seolah hidup dalam kurungan kebolehjadian.

Tiba-tiba Pak Ngabdul merasakan kesadaran akan pentingnya perencanaan hidup. Namun beliau masih menganggap ini adalah bagian dari takdir Tuhan.

Seperti biasanya, sore ini beliau diperjalankan untuk buruh membersihkan halaman rumah  orang-orang. Peralatan-peralatan yang penuh dengan tahi cicak sudah beliau bersihkan. Kali ini giliran halaman rumah milik Pak Dwija Saraya, guru Matematika yang serba bisa. Halaman rumahnya luas, tampak serasi dengan rumahnya yang bertingkat-tingkat dan berwarna-warni.

Pak Ngabdul mencoba lagi merencakan kegiatan buruhnya. Hasilnya memuaskan. Perkerjaannya selesai tepat waktu. Pelaksanaannya pun lancar tanpa halangan.

Tak disangka, usai merampungkan pekerjaan, beliau diundang makan-makan. Makan-makan dalam rangka slametan atas keserbabisaan yang sampai saat ini masih melekat di diri Pak Dwija Saraya.

Untuk ukuran orang semiskin Pak Ngabdul, acara slametan semacam itu layaknya takdir baik dari Tuhan yang diberikan cuma-cuma. Dan takdir cuma-cuma inilah yang sekaligus menyadarkan beliau. Bahwasanya keseimbangan usaha dan garisan nasib berubah sebutan menjadi takdir.

Langsung saja beliau menginformasikan kejadian ini kepada orang-orang terdekatnya. Pak Ngabdul meniru gaya motivator-motivator yang dahulu beliau anut petuahnya. Menyerukan hal-hal manis diluar logika, yang ujung-ujungnya mengajak untuk tidak suka berusaha.

Setelah mengumpulkan orang-orang terdekatnya, beliau segera bersuara, “Saksikanlah! Malam ini aku memohon kepada Tuhan biar aku diizinkan untuk diam. Tetapi jika memang tidak diperkenankan, aku akan meminta diperjalankan ke arah rumah yang sedang mengadakan pesta slametan. Biar di sana nanti aku bisa menikmati banyak sekali makanan. Tanpa perlu mengeluarkan uang!”

Malam itu pun orang-orang terdekat Pak Ngabdul mengikuti semua gerak-gerik beliau. Sampai akhirnya terbukti sudah omongannya. Kini semua orang melihat Pak Ngabdul sedang menikmati keterkabulan doanya. Bisa dipastikan bahwa orang-orang terdekatnya kini sedang meyakini makna takdir yang bukan sebenarnya.