Ajining dhiri gumantung saka ing lathi. Ajining awak saka tumindak. Ajining raga saka busana.
Pepatah jawa ini sudah sering kita dengar. Artinya cukup mudah dipahami. Kita bisa mengartikannya dengan ringkas bahwa perkataan (lathi), perbuatan (tumindak), dan penampilan (busana) adalah kunci utama agar orang lain memberikan penghargaan baik.
Dhiri, awak, dan raga ketiganya sama-sama merujuk pada makna badan/fisik. Berarti, yang dimaksud dalam pepatah itu, hanya sebatas penghargaan fisik semata, dong?
Jawabannya, ya.
Apalagi zaman now. Hahaha… Zaman materialistik. Coba saja Anda berpakaian compang-camping, tidak beralas kaki, membawa karung, lalu bertandang ke rumah seseorang yang belum kenal Anda sebelumnya.
Sudah pasti epunya rumah menebak kalau sedang ada gelandangan bertamu. Meskipun aslinya Anda camat, guru, kiai, atau bahkan konglomerat.
Bukankah seharusnya kita tidak melihat seseorang hanya dari covernya saja?
Ya, itu idealnya. Tapi untuk membangun kepercayaan kepada orang yang belum dikenal, perlu sebuah tampilan standar. Ada suatu tingkat kewajaran yang sudah menjadi patokan umum. Misalnya, tamu yang sopan itu berkunjung dengan celana panjang. Orang baik itu misuh-misuhnya di waktu dan tempat yang pas. Orang berpendidikan itu cepat bertindak tanpa perlu banyak perintah. Dll.
Bagaimana sebaiknya, menilai fisik atau rohani dulu?
Lebih jangan suka menilai. Hahaha…
Yaa… kalau bersikap kepada siapa saja, termasuk orang yang belum kita kenal, lebih baik ditengah-tengah. Bersikap sesuai norma kepatutan dulu saja. Jangan terlalu menghargai, juga jangan terlalu menyepelekan.
Itu pengalaman saya.