Kemarin saya membuat geguritan berjudul Wohing Pandhemi. Seperti ini geguritannya:
pandhemi iki
nggiring masyarakat
mring kahanan
kang ewuh
mbingungaké awan wengi
wiji kêmèrèn
bakal tuwuh dadi perang gedhe!
sing kadonyan ora eling kamanungsan
sing kepepet butuh cupet nalare njur dadi brangasan
tundhone akeh tumbal
mati amargå,
wohing pandhemi mung amargå wiji mèri
getih mili saindênging bumi pertiwi,
Kira-kira makna yang saya maksud adalah:
Pandemi covid-19 makin terasa imbasnya di tatanan masyarakat. Utamanya pada sisi kesenjangan sosial. Bagaimana tidak, beberapa profesi tetap dapat menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Pendapatannya pun masih sama dengan apa yang mereka usahakan.
Seperti petani, buruh bangunan, buruh pabrik, pedagang di pasar, dll.
Namun tidak pada guru. Guru di tengah masyarakat mendapatkan pandangan yang kurang menenakkan. Mereka terkesan tidak bekerja, tapi masih digaji.
Banyak orang tua yang mengharapkan anaknya dibimbing melalui video conference. Memang hal ini menjadi solusi bagi orang tua yang mampu menyediakan sarana prasarana untuk itu.
Tapi bagaimana jika masalah baru muncul akibat ketidakmerataan kepemilikan sarpras untuk video conference?
Andai saja ada regulasi kuat yang mengatur tentang subsidi silang, mungkin bisa membiasakan pemilik gaji tinggi untuk rutin berderma. Sekaligus menekan arogansi masyarakat yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tetapi jika keadaan ini jika dibiarkan, makin lama benih kecemburuan sosial ini akan berbuah perpecahan dan perang saudara.
Mungkin tulisan kali ini terlalu over thinking. Tapi gak papa… Hahaha…