Sore tadi.
Sekian lama tak kupakai, payung pelangi kupinta menemaniku lagi. Menerjang derasnya hujan. Menapaki jalanan sunyi Dusun Dongol nan angker dan medeni.
Tibalah aku di bawah rerimbunan papringan milik Mbah Sular. Payung pelangi yang kupegang bergerak-gerak.
Benar ternyata. Tak lama kemudian ia meronta. Ia makin lupa diri. Ingin sekali ia lepas dari genggaman tanganku ini. Sekuat tenaga kumenahan kehendaknya. Aku mobat-mabit kesana-kemari. Gapit pager patah berkeping-kepin
Aku tidak menyerah. Kubacakan mantra dari guruku. “Sil sil kwaci enak disisil. Kir kir sumingkira badan alus kang nguwasani ragane si payung iki! Ciyaaattt!” Dikombinasikan dengan Jurus Naga Gana, akhirnya aku bisa menguasainya.
Aku berhasil me-ngeplek-kan payung itu ke tanah. Lalu ia tersungkur.
Anehnya, selang beberapa detik, ia mingkup dengan sendirinya. Lalu membuka lagi. Berulang-ulang.
Sebentar kemudian ia berdiri. Mengambang di atas tanah sekitar satu meter.
Kugunakan Jurus Seribu Bayangan. Ratusan ragaku yang hanya duplikat itu berhasil mengecoh pengelihatannya
Tapi sayang. Jurus Ular Putih yang ia miliki berhasil mengelabuhiku. Payung pelangi mlurut dari genggamanku. Ia terbang. Menembus rerimbunan daun bambu hitam milik Mbah Sular. Mereka berguguran bagai tersengat panas bara api membara. Tetes-tetes air hujan minggir sejenak. Memberi jalan kepada payung pelangi yang akan mencapai kesejatiannya.
Tiba-tiba cahaya matahari menyelinap dari arah barat. Menggusur awan hitam nan pekat. Sisa-sisa air hujan yang masih nekat turun seolah berteriak keras, “Berbahagialah duhai payung pelangi. Wujudmu kini tak lagi bisa didekap oleh siapa pun. Termasuk Heri,”
Aku tertunduk lesu. Kuletakkan lututku di peluran PNPM. Meski berat, kuberusaha menengadah. Melihat kesejatian payung pelangi. “Meski kau kini telah sejati, tapi wujudmu tak nyata lagi. Tak seperti payungku yang kugenggam setengah jam tadi,”