Saya sependapat dengan pedoman kaum sederhana. Yakni memilih beli tanah daripada beli mobil. Apalagi hanya untuk bergaya. Selain tersiksa saat mikir uang untuk membeli, pajak per tahunnya juga mencekik si pemilik. Belum lagi masalah perawatan. Dan yang pasti adalah harga jualnya turun setiap tahun.
Beda dengan tanah. Makin hari harganya makin bertambah. Ditanami apa-apa bisa dipanen. Bisa buat persediaan makanan. Kalau lebih, bisa dibagi ke sanak famili.
Tapi,
Praktiknya tak semudah teori. Dengan iming-iming ‘hujan tak basah, terik matahari tak lagi mempan’, mobil jadi tujuan utama untuk menghabiskan uang tabungan. Buat kepentingan sosial juga bisa. Untuk nambah reputasi, jelas. Sampai-sampai, kalau lihai memberdayakan, si tanah tadi bisa teraih dari hasil jerih payah si mobil.
Baiklah pembaca. Kalau sekiranya masih kuat menahan godaan kemewahan dari lingkungan sekitar, silakan tabungannya tetap disimpan untuk membeli tanah dan sawah beberapa tahun ke depan. Tapi kalau mau hidup gembira dan tetap bisa tertawa, belilah mobil mewah, rumah mewah, dan mewah-mewah lainnya. Mereka bisa jadi pemicu agar seolah-olah kita akan hidup di dunia selamanya.
Eh, tapi jangan lupa. Soalnya tak ada jaminan pula kalau para pembaca ini masih bisa hadir di sini esok hari.