Dunia Online Tak Kenal Tanggalan

Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Hari ini ada tonggak sejarah baru tertancap di lingkungan kerjaku. Pencerahan dari Sang Maha Kuasa muncul begitu saja tanpa kami memintanya. Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul dari suatu hal yang mungkin tak banyak digubris oleh rekan-rekan kerja saya sebelumnya. Tepatnya, tentang ancaman penjatuhan (kembali) nama baik via media online.

Media online yang dulu dianggap dewa penolong dalam penyaluran segala macam informasi, kini berbalik menjadi hal yang ditakuti. Ada suatu pola pemanfaatan media sebagai ajang penjatuhan nama baik. Tak tahu siapa yang paling diuntungkan, yang jelas, ada suatu keuntungan yang didapat sesaat setelah menulis berita secara online.

Berawal dari kejadian kriminal yang kebetulan menyangkut nama institusi kami, akhirnya muncullah beberapa berita yang hingga kini kami nilai mencoreng nama baik. Berita yang semestinya sudah kadaluwarsa, muncul kembali begitu saja. Dan dapat kami pastikan akan meracuni siapa saja.

Kalau begini aturannya, menulis berita tak perlu pakai tanggalan lagi. Berita lama yang menyakitkan tetap bisa meracuni siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Menulis Cerpen

Menulis cerpen mulai dilakukan di Indonesia sejak tahun 1930. Kalau saya, menulis cerpen pertama kali waktu masih duduk di bangku SMP. Saya ingat betul waktu itu saya menulis cerpen dengan suka cita. Sayang sekali, saya lupa cerpennya berjudul apa.

Menulis cerpen ada aturannya. Aturan utamanya adalah: pernah membaca cerpen. Kalau belum memenuhi syarat utama tersebut, silakan baca dulu salah satu contoh cerpen berikut ini: Tani Sakti.

Aturan berikutnya adalah, mengetahui alur cerita. Setiap cerita biasanya punya alur begini:

  1. perkenalan keadaan;
  2. pertikaian/konflik mulai terjadi;
  3. konflik menjadi makin rumit;
  4. klimaks;
  5. peleraian/solusi/penyelesaian.

Biar menulis cerpen lebih mudah, penokohannya juga harus diperhatikan. Penokohan atau perwatakan berarti sebuah lukisan seorang tokoh cerita. Bisa diambil dari keadaan lahir atau batinnya. Boleh juga dari keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadatnya, dan sebagainya. Silakan digambarkan langsung atau tidak langsung.

Tidak kalah penting adalah aturan tentang latar. Ada latar tempat, waktu, dan suasana.

Menulis cerpen tidak boleh asal-asalan. Paling tidak ada nilai moral atau nilai keagamaan yang mau disampaikan.

Realitas yang Pahit

Pahit, sungguh pahit.

Ketika itu, anak-anak sedang bermain di taman. Lalu aku menyuruh mereka memasuki ruangan, “Ayo anak-anak, masuk kelas! Kita dikejar target,” aku melihat jelas raut muka kekecewaan di wajah mereka. Tapi kalimat perintahku belum bisa berhenti, “ayo, agak cepat! Hari ini kita menyocokkan PR yang kemarin!”

Lega rasanya satu per satu dari mereka mau mengikuti perintahku. Kami pun memulai ritual belajar mengajar seperti sedia kala.

“Baik, soal nomor satu, ya. Terdapat 5 lampu masing-masing 10 Watt, menyala 1 jam setiap hari, hitung biaya yang harus dibayar dalam satu bulan, jika biaya per kWh Rp 100,00!”

Tak kusangka ada seorang siswa yang mengangkat tangannya, “Pak, mohon maaf,”

“Iya, Min, ada apa?”

“Kata ayah saya, nanti kalau sudah besar, kita bertemu banyak pertanyaan tentang biaya,”

“Maksudmu bagaimana?”

Mbok ya kita di kasih bocoran pertanyaan-pertanyaan tentang biaya yang benar-benar akan kita temui,”

“Bisakah kamu memberikan satu contoh? Pasti kamu sudah dapat bocoran dari ayahmu, kan?”

Min membuka tasnya. Terlihat ia mencari sesuatu. Setelah ketemu, lalu ia mengambilnya, “Ini, Pak. Sudah ketemu,” ia menunjukkan secarik kertas, lalu membaca tulisannya, “Bagaimana caranya memutar uang satu juta?”

Kemudian ia menegaskan lagi. Bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang sering ditemui orang dewasa.