Tuku Sepedha Motor

“Pak!” Bu Sakinah membuka percakapan.

“Ada apa ta, Bune?” jawab Pak Ngabdul santai.

“Ndhak kok, Pak. Aku cuma heran. Coba itu jenengan pirsani. Akhir-akhir ini anak kita kok kerjaannya cuma ngelapi sepeda motor punyane jenengan terus? Mesakne, Pak…”

“Ha mbok biar,” jawab Pak Ngabdul dengan lebih santai.

“Jangan-jangan minta motor?” Bu Sakinah makin panik.

“Memang iya,”

“Wadhuh, kojur tenan iki, Pak!”

“Kemarin, dia bilang sama saya, minta dibelikan motor. Terus saya jawab, Le, kalau belum bisa beli sendiri, sementara ini kamu ngelapi dulu saja. Mbesuk pasti akan datang hasil jerih payahmu saat ini.”

“Alhamdulillah kalau gitu, Pak. Ternyata anak kita nurut.” kepanikan Bu Sakinah mereda.

“Terus saya juga bilang sama bocahe, ibumu kan suka sama bocah yang resikan. Kalau kamu konsisten ngelapi, pasti ibumu tidak tega melihat kerjaanmu yang nrenyuhne ati itu tiap hari, Le. Tunggu saja, pasti tidak lama lagi kamu dibelikan motor. Pakai uangnya ibumu.”

Akhirnya, Bu Sakinah tak kuasa menahan amarah.

Mitos Anak Gimbal di Dieng

Waktu itu saya melihatnya sendiri. Ini tidak sekedar Mitos Anak Gimbal di Dieng. Tapi benar-benar saya sudah melihat Anak Gimbal di Dieng.

Konon, beberapa tahun yang silam, ada cerita tentang ketertarikan seorang anak yang tinggal di Wonogiri. Sebuah kota yang terkenal dengan gapleknya. Singkong dari Wonogiri memenuhi hampir 10% kebutuhan bahan baku penganan singkong di Indonesia. Begitu prediksi saya. 😀

Maaf ya ngelantur sampai mana-mana.

Kembali ke cerita yang sesuai dengan judul. Saya tertarik dengan cerita Anak Gimbal di Dieng.

Saya melihat sendiri Anak Gimbal di Dieng. Begitu juga Anda. Anak Gimbal sebagai subyek. Di Dieng sebagai keterangan. Ini semua cukup membuktikan keberadaannya.

Jujur saya merasa takut mencari informasi lebih lanjut tentang Anak Gimbal di Dieng ini. Maka dari itu, untuk lebih jelasnya, silakan Anda searching lagi informasi yang lebih akurat dan terpercaya. Terima kasih sudah membaca. 😀

Diingatkan Tuhan

Gonjang-ganjing suasana sekitar, membuat hati ini tak tenang. Bisa dibilang, ini kondisi paling parah yang selama ini saya alami. Sepanjang jalan, darah penjuang keadilan dan kebenaran mengalir tiada henti. Rumah dan sarana umum rata dengan tanah. Senjata perang hampir habis stoknya. Tapi itu semua itu belum bisa menebus kemenangan yang diharapkan oleh pihak kami. Sebab, teguran Tuhan tidak pernah kami hiraukan selama ini.

(Alhamdulillah, bisa memulai dengan paragraf hiperbola) 😀

Memang benar. Jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan selalu mengingatkan hambanya dengan caraNya sendiri. Saya sudah berulang kali diingatkan olehNya. Dengan cara yang tidak biasa. Meski saya masih sering ngeyel dan tidak bisa menguasai diri.

Mari, sejenak menyelam ke dalam kehidupan pribadi saya. 😛

Anda bayangkan saya sedang bimbang. Menghadapi dua kutub yang saling serang. Saya ada di tengahnya.

Bukan, saya bukan penengah.

Lebih tepatnya, saya adalah anak buah dari kedua kutub tersebut.

Saya tidak mau dibilang plin-plan. Sehari ikut sana, besok ikut sini. Karena perlu Anda ketahui, bahwa kewajiban saya yang utama adalah bekerja sesuai perintah kedua pihak tersebut. Itu ada hitam di atas putihnya. 😀

Kita sebut saja pihak A dan pihak B. Keduanya berada pada himpunan semesta S. 😛

Saya bertanggung jawab atas kesuksesan program kerja pihak A. Di sisi lain, banyak sekali program kerja pihak B yang wajib saya sukseskan. Di sisi yang lainnya lagi, pihak A dan B saling menjatuhkan. Jika program A mapun B sukses, semesta akan hancur. 🙁

Sebenarnya, keterkaitan antara A, B, saya, dan S lebih rumit lagi. Tidak sederhana seperti apa yang saya tulis di atas. Tapi, daripada saya ingat lagi dengan beban hidup saya, lebih baik saya tulis dengan lebih sederhana.

Akhirnya, saya bingung mencari tempat bergantung.

Hari pertama, saya menyadari ancaman dari kedua pihak.

Hari kedua, saya memutuskan ikut pihak A.

Hari ketiga, saya yakin ikut pihak B.

Hari keempat, saya tidak memihak A dan B, tapi ikut semesta.

Hari kelima dan keenam saya bimbang tak karuan.

Hari ketujuh, saya mendapat petunjuk untuk bergabung ke dalam lindungan Tuhan.

Hari-hari saya berikutnya berjalan dengan lancar. Tiada lagi gambar-gambar kehancuran semesta yang selalu terbayang sebelumnya. Karena saya yakin, keberpihakan yang bersifat mutlak hanya kepadaNya. Selain itu, hanya sebatas profesionalitas dan proporsionalitas kerja. Hasilnya, terserah Tuhan.

Membalas Isu dengan Tindakan Nyata

Belajar dari banyak kejadian, akhirnya saya memilih untuk lebih banyak diam. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum banyak bicara. Karena beberapa kata yang ditautkan bersama bisa mengandung banyak makna. Padahal, banyak sekali pendengar yang merasa bebas mengartikan makna kata per kata yang mereka rekam dengan kuping masing-masing.

Banyak kata banyak. 😀

Ada sebuah sebab dari munculnya bahan pembicaraan. Tentang perbuatan saya mencuri, misalnya. Bisa saja kemarin itu, saya langsung menyangkal bahwa saya tidak mencuri. Tapi apakah mereka langsung percaya? Kalau pun ada, orang itu pasti sangat suka dengan saya. Namun sayang, orang yang benci kepada saya jumlahnya lebih banyak. Akhirnya energi saya terbuang sia-sia demi mempersiapkan susunan kalimat-kalimat sangkalan.

Berbeda ketika saya membuktikan sendiri di depan mata kepala oarng lain. Bahwa saya tidak mencuri. Atau saya berusaha mencari si pencuri yang sebenarnya. Atau kalau memang saya mencuri, lalu saya benar-benar menghentikan kebiasaan saya mencuri. Tanpa sepatah kata pun, mereka yang semula yakin bahwa saya pencuri, pasti akan percaya kalau saya bukan pencuri.

Akhirnya, membuktikan dengan tindakan nyata itu bisa menjadi senjata pamungkas. Ampuh tak tertandingi. Bisa dimiliki oleh siapa saja. Berita se-ngeri apa pun, tak perlu dibalas dengan berita lain yang lebih ngeri. Cukup dengan menyangkal fakta yang secara tidak sengaja telah diopinikan miring oleh orang lain; berwujud tindakan nyata.

Eh, misal fakta yang disebarluaskan itu benar-benar fakta, langkah perubahan nyata masih tetap terasa ampuhnya. Reputasi kembali naik, nama baik kembali dapat dimiliki.